Meredam Tren Pernikahan Dini Demi Masa Depan Cerah Anak Bangsa

Mayoritas anak yang menikah muda terpaksa putus sekolah karena harus mengurus rumah tangga. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk meraih masa ...

Pernikahan dini, yaitu pernikahan yang dilakukan pada usia di bawah 18 tahun, masih menjadi masalah sosial yang memprihatinkan yang memerlukan penanganan secara komprehensif di Indonesia. Data menunjukkan rata-rata usia perkawinan perempuan di Indonesia adalah 19,9 tahun, artinya masih banyak yang menikah sebelum genap berusia 18 tahun.

Maraknya pernikahan dini ini berdampak sangat buruk, baik jangka pendek maupun jangka panjang bagi para pelakunya yang notabene masih berstatus anak-anak.

Berikut beberapa dampak negatif dan langkah-langkah konkret untuk mengatasi dampak buruk pernikahan dini terutama pada tingkat kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan psikologis para pelakunya antara lain:

1. Risiko Kesehatan Reproduksi

Secara fisik, organ reproduksi anak di bawah 18 tahun belum matang sepenuhnya. Kehamilan dan persalinan pada usia ini sangat berbahaya dan berisiko komplikasi yang mengancam jiwa. Bayi yang dilahirkan pun berisiko cacat atau lahir prematur. Apalagi, akses anak di pedesaan terhadap fasilitas kesehatan reproduksi terbatas.

Meredam Tren Pernikahan Dini

Langkah-langkah pencegahan perlu diambil untuk mengurangi risiko kesehatan reproduksi. Pemerintah harus meningkatkan akses anak di pedesaan terhadap fasilitas kesehatan reproduksi. Program edukasi kesehatan reproduksi di sekolah dan masyarakat juga perlu ditingkatkan, dengan fokus pada risiko kehamilan dini dan persalinan pada usia muda.

2. Ancaman Putus Sekolah

Mayoritas anak yang menikah muda terpaksa putus sekolah karena harus mengurus rumah tangga. Padahal, pendidikan adalah kunci untuk meraih masa depan yang lebih baik dan terbebas dari kemiskinan. Dengan berhenti sekolah, peluang anak-anak ini untuk sukses akan sangat tipis.

Untuk mengatasi ancaman putus sekolah, perlu adanya program dukungan khusus bagi anak-anak yang menikah muda. Beasiswa atau pelatihan keterampilan dapat membantu mereka mempertahankan akses terhadap pendidikan. Pemerintah juga harus bekerja sama dengan sekolah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung anak-anak yang berada dalam situasi pernikahan dini.

3. Beban Psikologis Berat

Secara mental dan kematangan emosi, anak di bawah 18 tahun belum siap mengemban tanggung jawab sebagai seorang istri apalagi ibu. Mereka belum mampu membuat keputusan penting soal rumah tangga dan merawat bayi. Akibatnya, rawan mengalami tekanan mental, stres, depresi, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.

Aspek psikologis perlu diperhatikan dengan serius. Layanan kesehatan mental dan konseling harus lebih mudah diakses, terutama di daerah pedesaan. Program pendidikan keterampilan sosial dan emosional juga dapat membantu anak-anak di bawah 18 tahun mengatasi beban psikologis yang timbul dari tanggung jawab pernikahan.

4. Risiko Perceraian di Masa Depan

Banyak kasus perceraian yang berawal dari pernikahan di usia belia. Hal ini karena mereka dinikahkan di usia yang belum matang tanpa kesiapan mental membina rumah tangga. Masalah dan konflik pun kerap muncul hingga berujung pada perceraian.

Untuk mengurangi risiko perceraian, pencegahan pernikahan dini harus menjadi prioritas. Program konseling pranikah dan dukungan pasangan muda dapat membantu mereka menghadapi tantangan rumah tangga. Selain itu, kampanye penyadaran masyarakat tentang kesiapan mental dan emosional untuk menikah dapat mengurangi tekanan pada pernikahan.

Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kerja sama yang sinergis dari berbagai pihak. Pemerintah perlu meningkatkan usia minimal menikah, memberikan sanksi tegas pelanggaran yang harus diterapkan, serta menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan reproduksi bagi anak.

Selain itu, investasi dalam fasilitas pendidikan dan kesehatan reproduksi di daerah terpencil harus menjadi prioritas.

Orang tua dan tokoh masyarakat harus mengubah mindset bahwa menikahkan anak semata alasan ekonomi adalah keliru. Kampanye publik yang menyoroti bahaya pernikahan dini dan mengedukasi masyarakat tentang konsekuensinya perlu dilakukan secara terus-menerus. Fokus pada peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan dan pemberdayaan perempuan juga harus dikedepankan.

Di sisi lain, lembaga swadaya masyarakat juga harus aktif melakukan sosialisasi bahaya pernikahan dini serta memberdayakan anak perempuan untuk meraih pendidikan setinggi mungkin harus didukung dan diperluas. Kemitraan antara LSM dan pemerintah dapat menciptakan efek sinergis yang lebih besar dalam upaya pencegahan.

Hanya dengan mencegah pernikahan dini secara komprehensif, masa depan anak bangsa akan jauh lebih cerah. Generasi penerus yang berkualitas akan lahir dan Indonesia bisa lepas dari jebakan kemiskinan serta ketertinggalan.

Biodata Penulis:

Regy Salwa Salsabila lahir pada tanggal 1 September 2004. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Pendidikan Matematika, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.