Mengungkap Sisi Gelap Kekuasan dalam Praktik Feodalisme Melalui Karya Pramoedya Ananta Toer Berjudul Gadis Pantai

Isu yang ditemukan pada novel Gadis Pantai adalah sikap feodalisme yang sangat jelas dan tegas dicerminkan oleh Pram melalui kata-katanya yang ....

Novel Gadis Pantai yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer menjadi salah satu penyumbang karya yang mengangkat isu-isu pelik menyangkut harga diri perempuan. Isu pertama yang ditampilkan di dalam novel ini mengenai pernikahan dini yang terjadi pada tokoh utama, Gadis Pantai, yang masih berusia empat belas tahun saat ia menikah.

Ia dinikahkan dengan seorang priyayi bahkan pembesar yang dipanggil Bendoro atau “majikan” yang usianya terpaut jauh dari Gadis Pantai.

Hal tersebut sangat ironi dan menjadi catatan bagi saya pribadi, betapa pada saat itu hal tersebut dianggap “lumrah” dan menjadi hal yang biasa dan diwajarkan bahkan menjadi suatu kebanggaan sendiri karena menikah dengan seorang pembesar, tanpa melihat hal-hal negatif di belakangnya.

Novel Gadis Pantai

Pernikahan yang terjadi antara Gadis Pantai dengan Bendoro dapat dikategorikan sebagai suatu hal yang ilegal. Hal yang menjadi masalah pada pernikahan tersebut bukan pada rentang umur mereka yang cukup jauh, melainkan usia Gadis Pantai yang belum dikatakan cukup dan matang, baik secara fisik maupun mental, untuk menjalin suatu pernikahan.

Gadis Pantai belum masuk dalam kategori usia yang legal. Usianya masih sangat belia bahkan masih dikatakan sebagai remaja tanggung atau anak-anak yang baru saja memasuki usia remaja. Usia-usia awal remaja tersebut adalah masa-masa yang labil karena pada usia tersebutlah para remaja mulai mencari jati dirinya.

Permasalahan yang saya singgung di sini adalah di usia tersebut Gadis Pantai sedang berada pada fase pencarian jati diri, tetapi ia terpaksa harus menikah dengan orang yang sudah dikatakan “matang” dalam artian umur dan pemikiran.

Fenomena yang terjadi pada pernikahan tersebut dapat pula dikenal dengan istilah child grooming. Dilansir dari Halodoc.com, child grooming bisa diartikan sebagai tindakan membangun kepercayaan kepada anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal tersebut bertujuan untuk menguasai korbannya.

Gadis Pantai serta gadis-gadis lain dalam novel ini adalah korban dari child grooming. Walaupun Gadis Pantai dengan Bendoro sudah sah menjadi sepasang suami istri, saya kurang nyaman membaca bagian yang memperjelas hubungan mereka. Rasanya tidak patut saja.

Menurut saya, Gadis Pantai seolah-olah menjadi “dewasa” sebelum waktunya akibat pernikahan tersebut. Pada usianya yang masih sangat muda, ia disuguhkan dengan permasalahan rumah tangganya yang cukup pelik.

***

Isu kedua yang ditemukan pada novel ini adalah sikap feodalisme yang sangat jelas dan tegas dicerminkan oleh Pram melalui kata-katanya yang cukup terperinci.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme atau suatu sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang tinggi bagi golongan bangsawan. Sistem ini mengagungkan jabatan atau pangkat, bukan prestasi kerja.

Feodalisme menjadi isu utama dalam novel ini. Lebih menarik lagi, Pram menonjolkan bahwa korban dari kekejaman feodalisme tersebut kebanyakan adalah para perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari tokoh utama novel ini, yaitu Gadis Pantai.

Banyak sekali kutipan yang menyatakan kekejaman feodalisme yang menyebabkan rendahnya harga diri perempuan di mata para lelaki, salah satunya sebagai berikut:

“Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu, Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau dibandingkan dengan segala usahanya buat bini, buat anak-anaknya. Kalau saja Tuhan dulu mengurniakan sahaya anak, barangkali seorang, barangkali juga selusin? Apalah artinya pukulan pada eman? Mas Nganten sendiri lihat, bapak saban hari menentang maut..” (Toer, 2003: 95)

Saya sangat menyayangkan pemikiran tersebut yang menyatakan bahwa perempuan itu hanyalah “samsak” tinju bagi laki-laki, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah, tidak mempunyai kuasa atas dirinya sendiri, bahkan menurut saja apa yang diperintahkan oleh lelaki yang menjadi suaminya.

Hal tersebut membuat derajat perempuan menjadi sangat rendah bahkan terkesan sangat mudah untuk ditaklukan dan dilecehkan harga dirinya. Saya sebagai perempuan turut sedih membaca pemikiran tersebut.

Menurut saya, perempuan itu berhak atas dirinya sendiri. Di samping kewajiban perempuan sebagai istri terhadap suaminya, perempuan berhak juga mendapatkan haknya sebagai seorang istri dan haknya sebagai manusia secara utuh.

Hal yang menjadi ironi tergambar juga pada tokoh utama, Gadis Pantai. Ia hanya dijadikan “istri percobaan” oleh Bendoro sebelum menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya. Harga diri Gadis Pantai sangat merosot dan benar-benar jatuh mengetahui hal tersebut.

Permasalahan ini menjadi salah satu bukti bahwa feodalisme itu nyata. Bendoro, sebagai golongan bangsawan, bersikap sangat semena-mena dalam mengambil keputusan yang menyangkut orang lain. Asal dirinya senang dan diuntungkan, urusan orang lain bukan urusannya. Ia hanya tahu senangnya saja dan memanfaatkan bentuk kekuasaan yang ia punya.

Harga diri Gadis Pantai dalam novel ini sangat memilukan dan mampu menyayat hati. Ia kehilangan semua yang dimilikinya.

Novel ini menggambarkan bahwa perempuan hanyalah sebagai mainan saja, tidak ada harga dirinya. Perempuan merupakan sosok yang lemah dan tidak mempunyai kekuasaan bahkan untuk dirinya sendiri. Pramoedya seolah-olah menegaskan bahwa hal tersebut tidaklah benar, harus diubah, harus dimusnahkan.

Melalui novel ini, diharapkan tidak ada lagi perempuan yang bernasib sama seperti Gadis Pantai. Tidak ada lagi penindasan atas kaum perempuan. Tidak ada lagi sikap superior dan memanfaatkan privilege atau hak istimewa untuk menjatuhkan orang lain.

Biodata Singkat:

Hibar Islamiaty Abiyusa lahir di Sumedang pada 11 Juli 2004. Saat ini aktif sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.