Kuliah merupakan impian bagi hampir setiap manusia, khususnya kalangan remaja yang baru saja lulus dari bangku sekolah menengah, karena memang setelah menuntut ilmu di perguruan tinggi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam hal mencari pekerjaan. Namun, beberapa hal menjadi penghambat bagi mimpi anak untuk melanjutkan pendidikan dalam hal ini hambatan ekonomi.
Sebenarnya, hal itu relatif, tergantung niat dan keinginan kuat yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan apa yang dia mau. Tidak mudah untuk membangun niat serta keinginan kuat apabila memang sudah ada faktor penghambat yang terlihat jelas dan fakta.
Seorang anak dari pengrajin rumahan di desa pelosok memiliki impian untuk merasakan bangku perkuliahan, di sisi lain ada hambatan yang ditakdirkan untuk anak tersebut, penghasilan orang tua yang kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan perkuliahan.
Anak dari keluarga sederhana di pelosok desa yang memiliki kemauan kuat untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah tidak mudah baginya untuk memantapkan hati orang tua maupun dirinya sendiri untuk mewujudkan impiannya.
Sedari kecil ia merupakan anak pendiam dan selalu tertinggal dari teman-temannya, karena kondisi ekonomi keluarga yang bisa dikatakan menengah ke bawah. Ayah yang setiap harinya membuat alat-alat rumah tangga dan ibu seorang ibu rumah tangga, tentu hasil dari mata pencaharian ayahnya tidak seberapa. Hal ini yang membuat pesimis untuk melanjutkan pendidikan.
Ada satu momen ibunya berkata "Apa nanti bisa sekolah sampai SMA ya nak?"
Cerita bermula ketika ia menginjak taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Lingkungan desa yang notabenenya banyak orang-orang berada membuatnya harus mau berteman dengan anak orang berada. Tentu saja mereka memiliki fasilitas yang cukup, apapun itu dikabulkan. Hal ini membuat ia iri, sering kali meminta, apa yang diminta belum tentu dikabulkan. Bukan cuma hal tersebut, ia juga iri tentang keharmonisan keluarga teman-temannya dan lain sebagainya. Hal yang paling sakit adalah dia tidak diajak main oleh teman-temannya karena tidak memiliki mainan yang sama karena memang harga dari mainan tersebut cukup mahal untuk keluarganya.
Setelah menginjak Sekolah Menengah Pertama, ia mulai meminta sepeda motor tapi ya alhasil tidak dikabulkan juga, sering kali ia jalan kaki dari sekolah ke rumah atau sebaliknya yang memang cukup jauh, bisa memakan waktu sampai kurang lebih setengah jam untuk jalan kaki.
Ada beberapa momen juga dia mendapatkan tebengan dari temannya, akan tetapi itu tidak setiap hari. Dia menjadi anak pendiam introvert di rumah setiap saat dan yang paling parah dia menjadi susah bersosialisasi.
3 tahun berlalu mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama, ia memilih untuk lanjut ke salah satu SMK yang menjadi favorit di daerahnya. Dia cukup berprestasi di sekolahnya, beberapa kali menyumbangkan gelar juara kepada sekolahnya, cukup membuatnya lega karena dia mulai berpikir kalau ternyata dia bisa sedikit bermanfaat bagi orang sekitar, khususnya orang tua yang ingin dibanggakannya.
Di bangku SMK pun dia belum diberikan fasilitas yang cukup untuk menunjang sekolahnya, dia tidak diberikan motor oleh orang tuanya, padahal sekolahnya jauh dari rumah. Hal ini membuat dia harus mencari cara agar tetap bisa sampai sekolah dengan cara mencari tebengan tiap pagi untuk sampai ke sekolah dan sebaliknya waktu pulang
Dia tidak pernah meminta ini itu, karena waktu SMK, dia sudah mulai sadar kalau memang orang tuanya belum bisa membelikan apa yang diinginkan olehnya.
Selesai sudah 3 tahun penuh makna dan perjuangan yang indah, dia mulai memantapkan dirinya untuk kuliah namun patah karena tidak lolos siswa eligible. Setelah dorongan dari teman-temannya, akhirnya dia mulai bangkit dan mencoba jalur seleksi UTBK dan memang benar rezekinya ada di UTBK dia lolos di salah satu PTN di Jawa Tengah, membuat orang tuanya sangat-sangat bangga.
Akan tetapi ada hal yang membuat dia sedikit pesimis untuk melanjutkan, ya kembali lagi finansial ekonomi, dia takut akan biaya yang mahal untuk perkuliahan yang ia jalani. Ia mulai bercerita dengan orang tuanya perihal mahalnya biaya pendidikan "Pak, buk biaya ne kuliah mahal nopo mboten diterusne mawon?" Ucap Ilham dengan lesu.
Sang ibu menjawab "Nko lak yo eneng dalan e le", jawaban dari ibunya membuat sedikit lega hati. Dia mulai melanjutkan proses dan sedikit senang karena biaya pendidikan yang masih bisa dijangkau orang tuanya. Dan akhirnya ia bisa merasakan bangku kuliah dengan fasilitas yang bisa dimiliki seperti motor handphone dan lain-lain.
Dan dari hal tersebut kita harus percaya bahwa tuhan memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan, tuhan akan memberikan jalan terbaik bagi mereka yang mau berusaha, dan memang benar, doa orang tua adalah hal paling hebat yang pernah Ilham temui di dunia.
Biodata Penulis:
Ilham Dwi Kuncoro lahir pada tanggal 30 Maret 2005 di Boyolali. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.