Gairah Sutardji dalam Bersajak yang Digambarkan dalam Kumpulan Sajak O, Amuk, Kapak (1966-1973)

Sutardji memulai pemberontakan pada tahun 70-an dengan perpuisian Indonesia. Sutardji dengan tegas memperkenalkan "Kredo Puisi" yang menegaskan ...

"Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (Obscene) serta penjajahan dirinya sendiri." (Bachri, 2002:4)

O, Amuk, Kapak merupakan sebuah kumpulan sajak karangan karya Sutardji Calzoum Bachri. Kumpulan sajak O, Amuk, Kapak terbit cetak pertama kali pada tahun 1981 oleh Sinar Harapan. Lalu, diketik ulang sajak-sajak Sutardji pada cetakan kedua pada tahun 2002 oleh Yayasan Indonesia dan Majalah Horison.

Dalam buku O, Amuk, Kapak merupakan beberapa kumpulan sajak Sutardji yang digabungkan dari: kumpulan sajaknya O (1966—1973), Amuk (1973—1976), dan Kapak (1976—1979). Dari gabungan beberapa sajak ini, membawa Sutardji dikenal dengan sebutan "Kredo Puisi."

Sutardji memulai pemberontakan pada tahun 70-an dengan perpuisian Indonesia. Sutardji dengan tegas memperkenalkan "Kredo Puisi" yang menegaskan bahwa kata dalam puisi yang dia buat merupakan bebas tanpa memiliki pengertian.

Kredo puisi merupakan puisi kontemporer yang diperkenalkan Sutardji yang bebas dan tidak terikat apapun. Dari kredo puisinya lah, penyair tidak akan terbatas dari penyampaian maknanya. Namun, penulis dapat bebas menggunakan kata-kata yang bebas, tidak terikat, tidak bermakna, maupun menggunakan makna sebenarnya tanpa maksud pengertiannya. Sutardji beranggapan bahwa kredo puisinya akan membawa kreativitas penyair lebih ekspresif lagi. Dengan ini, Sutardji memperoleh tempatnya sendiri dalam sastra Indonesia.

Fokus utama dalam kumpulan sajak O, Amuk, Kapak sendiri merupakan bukti dan karya yang dibanggakan Sutardji dengan kredo puisinya. Dari sajak-sajak ini, Sutardji melakukan banyak penyimpangan puisi yang tidak sesuai dengan puisi sebelum-sebelumnya.

Beliau menggunakan tipografi yang tidak beraturan, menghapus tanda baca, menggabungkan dua kata atau lebih, menggunakan afiks tidak sesuai dengan kaidah, membentuk kata dari jenis kata lain, membalik dan memutuskan kata, dan lainnya.

Oleh karena itu, kata dalam puisi Sutardji menjadi bentuk gairah penuh kebebasan dan tidak terjajah oleh orang lain maupun dirinya. Dan Sutardji juga melakukan perubahan terhadap sifat bunyi puisinya menjadi Mantera. Sutardji beranggapan bahwa puisinya adalah mengembalikan kata menjadi mantera. (Bachri, 2002:4).

Sutardji Calzoum Bachri
sumber gambar: pojokseni.com

Seperti pada sajaknya yang berjudul "Tragedi Winka & Sihka" yang menggunakan tipografi zig zag, membalik dan memutuskan kata yang tidak sesuai kaidah seperti kata winka yang membalik dan memutuskan kata tiap baitnya sehingga membentuk kata dari jenis kata lainnya.

Lalu, ada sajaknya yang berjudul "O" yang menggabungkan dua kata atau lebih tanpa mengubah tataran morfologinya. Sajaknya yang berjudul "Mantera" pun tidak memiliki makna melainkan memang seperti mantera.

Dari ketiga puisi itu pun tidak menunjukkan maksud tertentu melainkan memperlihatkan keestetikan puisi beliau. Sesuai dengan penciptaan puisi Sutardji, yaitu membebaskan kata dari makna, membebaskan kata dari dari gramatika, dan mengembalikan kata kepada mantera.

Selain judul sajak yang disebutkan di atas, sajak-sajak yang Sutardji sendiri memang menarik bagi para ahli sastrawan maupun cendekiawan sebagai kajian penelitian. Kredo puisi Sutardji pun memang sudah diakui sebagai salah satu sejarah perubahan perpuisian Indonesia.

Ketika saya membaca buku O, Amuk, Kapak pun merasa menarik karena keabsurdan puisinya. Dari kata-kata yang dituliskan sajaknya pun merasa ini unik dan lucu. Seperti pada puisi yang berjudul "Luka" yang hanya berisikan satu bait, yaitu ha ha.

Walaupun hanya dua kata tersebut yang tidak terikat dan tidak memiliki makna. Saya tetap dapat menangkap maksud yang ingin disampaikan penyair. Terkesan sederhana dan unik dalam sajak itu. Lalu, saya juga mengalami kesulitan dalam membaca sisa sajak-sajaknya.

Sutardji telah mengukir namanya sebagai sastrawan Indonesia yang berpengaruh pada tahun 70-an dengan karya-karya tulisnya, seperti kredo puisi, cerpen, dan esainya yang penuh estetika dan absurd (sulit dipahami).

Dengan karya-karyanya tersebut telah mempertegas gairah Sutardji yang bebas dalam kalimatnya "Sebagai penyair, saya hanya menjaga – sepanjang tidak mengganggui kebebasannya – agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal" (Bachri, 2002:4).

Dalam cetakan kedua kumpulan sajak O, Amuk, Kapak telah diberi catatan sebagaimana sebagai buah cinta dan rasa kagum atas karya-karya Sutardji dan juga memang dimaksudkan sebagai pembelajaran sastra. 

Referensi:

  • Bachri, S. C. (2002). O amuk kapak. Horison.
  • Ensiklopedia Sastra Indonesia. Artikel "O, Amuk, Kapak" - Ensiklopedia Sastra Indonesia.
  • Maghfiroh, A. (2023). Mitos Kredo Puisi dalam Antologi O Amuk Kapak Karya Sutardji Calzoum Bahcri: Kajian Pemikiran Roland Barthes, 106. 

Biodata Penulis:

Hikmah Aulia (kerap disapa Hikmah) lahir di Jakarta pada tanggal 3 November 2002. Ia merupakan seorang mahasiswa, yang sedang menempuh pendidikan semester tiga, program sarjana, Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.