Sudah saatnya saya merekam kembali figur Mang Oded, sesosok praktisi kemasyarakatan yang dihormati atas prestasi dan dedikasinya semasa hidup. Sudah dua tahun sejak kepergiannya, namun namanya masih tetap harum dikenang oleh masyarakat Jawa Barat.
Karirnya dirintis dari berkat kecemerlangannya sebagai anak buah B. J. Habibie, dipekerjakan dalam bidang pembuatan suku cadang pesawat. Tidak kalah cemerlang kiprahnya sebagai pelaksana politik, ia berhasil menduduki kursi legislatif sebagai anggota DPRD Kota Bandung sebanyak dua periode, pada masa bakti 2004-2008 dan 2009-2013.
Setelah itu, ia juga mengukuhkan posisinya sebagai Wakil Wali Kota masa bakti 2013-2018 bersama Ridwan Kamil sebelum akhirnya diangkat menjadi Wali Kota di tahun 2018.
Karakteristik budaya Sunda telah melekat pada eksistensinya. Sejak kemunculannya sebagai tokoh publik, tak sekalipun ia melepas identitasnya sebagai USA (Urang Sunda Asli).
Sebagai bukti yang paling konkret, perhatikanlah sekadar nama panggilannya: Mang Oded. Kata ekspresi ‘Mang’ merupakan abreviasi dari ‘Amang’, yang dalam budaya Sunda diperuntukkan bagi pria yang sudah berumur. Dalam Bahasa Indonesia, ‘Mang’ juga dipadankan dengan paman.
Pada saat figur publik lain menggunakan panggilan ‘Pak’ sebagai panggilan formal, namun Mang Oded memilih untuk mempertahankan kebudayaan Sunda-nya dengan membahasakan diri sebagai ‘Mang’ bagi masyarakatnya. Ia berhasil membentuk citra diri sebagai entitas Sunda yang melekat dalam kenangan.
Tidaklah mengherankan bila ia sungguh giat menyisipkan sedikit dari kelimpahan budaya Sunda dalam setiap momen kemunculannya.
"Sampurasun!" Begitu seruannya dalam setiap pidato yang ia berikan. Dikemas dalam nuansa Sunda, setiap acara yang pembukaannya diresmikan olehnya selalu berlangsung dengan khidmat. Dalam berbagai kesempatan pun, ia hadir dalam balutan pakaian adat khas Sunda, beskap dan pangsi.
Bahkan, ketika ia menjabat sebagai Wakil Wali Kota, bersama Ridwan Kamil ia kerap menyisipkan bahasa Sunda ke dalam setiap program yang mereka jalankan. KangPisMan contohnya. Pelafalannya seolah sedang memanggil nama seseorang bernama Pisman dengan sebutan ‘Kang’.
Gerakan KangPisMan sendiri merupakan abreviasi dari kurangi, pisahkan, dan manfaatkan. Hal ini merujuk kepada tata cara pengolahan sampah yang baik. Lebih lagi, masyarakat dijuluki ‘Balad Kang Pisman’ untuk menunjukkan bahwa nama unik ini memang sengaja dibentuk dalam nuansa Sunda.
Mang Oded mengungkapkan keinginannya untuk terus eksis dalam upaya pelestarian budaya lokal, karena khawatir bila tidak, kemilau dari kebudayaan tersebut dapat sirna. Seperti dalam pidatonya usai meresmikan pembukaan Festival Sastra dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional tahun 2020 silam, ia mengimbau seluruh masyarakat USA (Urang Sunda Asli) untuk membiasakan diri menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.
Ia mengakui bahwa pada saat ini, penggunaan bahasa nasional secara umum lebih mendominasi di Kota Bandung karena populasi pendatang yang cukup tinggi.
Penggunaan bahasa nasional di ruang publik menjadi tak terelakkan karena regulasi yang diatur dalam Peraturan Presiden. Namun ia berharap bahwa masyarakat Sunda asli dapat melestarikan penggunaan bahasa Sunda seminimalnya di ranah terkecil seperti lingkup rumah. Sebab, bahasa adalah cermin kebudayaan suatu bangsa, yang bila bahasa tersebut hilang, maka hilang pula bangsa itu.
Saya kembali mengingat masa-masa indah saya di SMA. Tepat pada tahun 2019, saya bersama empat orang rekan saya berencana untuk menemui Mang Oded di kediamannya di Pendopo Kota Bandung. Lokasinya terletak persis di depan Alun-Alun Bandung, dibalut dengan cat putih dari ujung hingga ujung.
Saya berencana menemuinya sebagai narasumber dari sebuah tugas sekolah, yang secara kebetulan merupakan tugas bahasa Sunda. Memori ini sesungguhnya sempat terbenam jauh dalam pikiran saya. Namun, masih terekam dengan jelas bagaimana peristiwa itu berlangsung. Mulai dari awal perjumpaan dengan Mang Oded, saya dibuat terkesan dengan pembawaannya yang begitu ramah, walaupun saya dan rekan-rekan saya notabenenya hanyalah sekelompok remaja biasa.
Sungguh hangat sambutannya terdengar, dalam bahasa Sunda yang khas, tak terlalu cepat maupun berat untuk dimengerti oleh saya yang kurang fasih berbahasa Sunda.
Selama proses wawancara, ia banyak membuka pandangan baru bagi saya dan rekan, utamanya mengenai pelestarian kebudayaan Sunda. Pendopo yang ia tempati pun termasuk ke dalam salah satu fasilitas kebudayaan Sunda yang ada di Kota Bandung.
Ia berikan perspektifnya mengenai bagaimana seharusnya masyarakat merawat serta menjaga kelestarian budaya Sunda, sekecil apa pun bentuknya. Sesekali candaan ramah ia lontarkan, membuat figurnya terasa seperti paman yang sedang akrab bercengkrama dengan lima keponakannya.
Sejak saat itu, saya menyadarinya. Mang Oded adalah pribadi yang dicintai masyarakatnya. Ialah sosok yang selalu menggaungkan budaya dalam setiap ucapnya, memasang identitas tersebut dalam pikulan bahunya. Budaya Sunda akan terus melekat dalam dirinya hingga kapan pun.
Selain itu, kehidupannya juga terarah pada Tuhan yang dipercayainya. Sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Bandung, bahwa ia adalah tokoh publik yang gemar berdakwah dari satu tempat ibadah ke tempat lainnya.
Menggenggam bekal tersebut, Mang Oded hidup penuh hormat sebagai seorang pemimpin yang bersahaja semasa hidupnya. Mang Oded berpulang pada tanggal 10 Desember 2021 dalam kemuliaan hari Jumat, yang dalam ajaran Islam merupakan pertanda kebaikan.
Selamat jalan, Mang Oded. Semoga damai perjalanannya, sejahtera di sisi-Nya.
Biodata Singkat:
Qhasdinna Syifa Alfiyanni (kerap disapa Syifa) lahir di Bandung pada tanggal 9 Oktober 2004. Ia merupakan seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan semester tiga, program sarjana Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Padjadjaran.