Ada yang baru nih dari Songmont! Tas Elegan dengan Kualitas Terbaik

Didikan yang Diktator dan Nilai Feminisme pada Kumpulan Cerpen Dua Dunia Karya Nh. Dini

Melalui cerpen “Dua Dunia” ini, Nh. Dini ingin menyampaikan bahwa pendidikan orang tua merupakan salah satu aspek terpenting dalam keberlangsungan ...

Setelah menyelami kumpulan cerpen Dua Dunia karya Nh. Dini yang terdiri atas beberapa judul, yakni “Dua Dunia”, “Istri Prajurit”, “Jatayu”, “Kelahiran”, “Pendurhaka”, “Perempuan Warung”, “Penemuan”, “Warung Bu Sally”, “Liar”, dan “Keberuntungan”. Saya memilih cerpen “Dua Dunia” untuk dikaji secara lebih mendalam, karena di dalam cerpen tersebut terdapat isu-isu yang cukup menarik perhatian saya seperti didikan keras yang dilakukan oleh orang tua pada anaknya dengan menggunakan ajaran adat Jawa.

Tentunya, hal itu memiliki tendensi yang lebih pada kepentingan kaum pria. Kemudian, dalam kumpulan cerpen “Dua Dunia” ini Nh. Dini selalu menyelipkan unsur-unsur feminisme.

Selain unsur-unsur feminisme, jika kita perhatikan secara lebih detail, Nh. Dini dominan menggunakan sudut pandang kaum marjinal atau kelompok kecil sehingga membuat para pembaca meresapi apa yang dirasakan oleh para tokoh yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut. Tidak hanya itu, keapikan pengarang wanita Jawa ini dalam mengemas isu juga patut diacungi jempol.

Sang pengarang, Nh. Dini, berupaya untuk mengemukakan pemikirannya terkait pendidikan orang tua yang salah untuk diluruskan secara benar. Pendidikan orang tua yang salah ini terbukti oleh penokohan yang terdapat pada cerpen “Dua Dunia”, yakni tokoh Ibu yang terlalu menuntut anaknya untuk menjadi seseorang yang selalu patuh dan dapat berguna bagi keluarga, tokoh Ayah yang terlalu memaksakan kehendaknya, dan bahkan mereka juga mencampuri urusan pribadi anak mereka dengan cara memilihkan pasangan hidup atau suami untuk Iswanti, anaknya. Hal tersebut mereka lakukan demi kepentingan mereka sendiri tanpa memikirkan perasaan yang dirasakan oleh Iswanti.

Jika diperhatikan secara lebih mendalam, didikan yang diberikan oleh kedua orang tua Iswanti menganut paham patriarki sehingga membuat anak perempuannya menderita karena tidak diberi hak untuk bersuara. Serta mereka lebih berorientasi kepada kepentingan pria.

Pada intinya, pengarang wanita Jawa ini berupaya untuk menjunjung nilai keseragaman antara kaum pria dan kaum wanita. Menurutnya, seorang wanita juga memiliki potensi yang sama dengan seorang pria.

Nilai Feminisme
Foto: nalarpolitik.com

Melalui cerpen “Dua Dunia” ini, Nh. Dini ingin menyampaikan bahwa pendidikan orang tua merupakan salah satu aspek terpenting dalam keberlangsungan hidup seorang anak. Beliau juga ingin menunjukkan bahwa didikan yang terlalu diktator itu merupakan didikan yang salah, karena secara tidak langsung didikan tersebut membuat sang anak menjadi kesulitan dalam mengambil keputusan yang benar.

Dengan didikan yang diktator, seorang anak pasti akan selalu menuruti apapun perintah dari orang tuanya. Dan hal itu membuatnya buta untuk mengetahui mana pilihan yang benar dan mana pilihan yang salah. Terlebih pilihan tersebut untuk dirinya sendiri.

Dalam cerpen ini juga, Ibu Iswanti sangat menuntut Iswanti untuk menjadi seseorang yang berguna bagi keluarganya, menjadi istri idaman sekaligus menjadi seorang anak yang selalu menaati perintah dari orang tuanya.

Hal tersebut membuat Iswanti selalu berpikir bagaimana cara untuk menjadi istri yang baik, bahkan ketika ia diselingkuhi oleh suaminya, Iswanti hanya bisa diam menahan kesakitan atas perlakuan suaminya tersebut.

Perlu diketahui pula bahwa suami dan ibu tiri Iswanti juga menganut budaya patriarki. Pernyataan tersebut dibuktikan oleh kutipan berikut.

“… Ibu tiri Darwono yang genit itu selalu memperlihatkan bahwa ia lebih kuasa dalam rumah itu, bahkan lebih kuasa atas diri Darwono yang telah menjadi suami Iswanti. Tampak segala perbuatan ibu tiri itu dibuat-buat untuk menyakitkan hati Iswanti. Dan segala itu ditahannya, ditekan saja dalam perasaannya, karena dia mau menjadi istri yang baik. Dia mau menjadi istri yang menurut idaman ibunya, mengikuti semua omongan suami dan orang tua. Sampai akhirnya, Kanti sudah di dalam kandungan antara lima bulan, dia tak tahan lagi berada di lingkungan yang berisi tantangan dan cemoohan…” (Dua Dunia. Dini, 1955: 13-14)

Kemudian Nh. Dini juga menampilkan segi feminisme dengan menunjukkan keinginannya untuk membantah berbagai stigma masyarakat terhadap pengertian dari istri idaman.

Umumnya, masyarakat yang masih memiliki pemikiran kolot pasti beranggapan bahwa istri idaman atau istri yang baik adalah istri yang selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh suaminya. Padahal, istri yang baik lebih dari sekedar itu saja.

Peran istri dalam sebuah rumah tangga itu sangat penting, suara dari seorang istri juga harus didengarkan karena menjalin sebuah hubungan pernikahan itu dilakukan oleh dua belah pihak bukan satu orang saja. Jadi, dalam memutuskan sesuatu perlu mempertimbangkan pendapat dari seorang istri agar dalam hubungan tersebut tidak ada yang merasa dirugikan atas keputusan yang diambil.

Dapat ditarik sebuah simpulan bahwa seorang istri yang baik itu bukan sekadar menuruti perkataan dan perintah dari suaminya saja. Akan tetapi juga, mereka berhak untuk memberikan pendapat jika keberatan dengan apa yang diputuskan oleh suaminya sendiri. Dengan begitu, suasana harmonis dalam sebuah keluarga dapat tercipta dan terjaga.

Selain itu, dalam cerpen “Dua Dunia” ini saya melihat berbagai dampak yang ditimbulkan dari adanya didikan yang salah dari orang tua, di antaranya; mengalami kesulitan dalam membuat keputusan karena sedari kecil tidak pernah diberikan kesempatan untuk memilih, selalu hidup dalam situasi yang tertekan sebab tidak pernah diberi kebebasan, tidak bahagia mereka cenderung tidak menyayangi dan menghargai dirinya sendiri, tidak bisa mengambil sikap (pasif), contohnya ketika Iswanti yang hanya bisa diam saat dirinya dicemooh oleh ibu tiri bahkan ketika suaminya, Darwono selingkuh, Iswanti hanya pasrah dan menerima keadaan yang tidak adil tersebut dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, orang tua yang mendidik anaknya dengan cara yang salah itu berbanding lurus dengan membiarkan anaknya menjadi cemoohan atau hinaan bagi orang lain. Hal tersebut berhasil terinterpretasikan oleh penokohan Iswanti yang begitu menderita dalam cerpen “Dua Dunia” ini.

Sebagai orang tua yang baik, seharusnya mereka memberikan arahan dan pilihan saja, kemudian memberikan kesempatan bagi sang anak untuk memilih pilihannya sendiri. Daripada memberikan perintah untuk menjadi seorang anak yang selalu patuh kepada orang tua dan menjadi istri idaman yang selalu mengiyakan segala omongan suaminya, lebih baik mereka membekali anak perempuannya dengan wawasan yang luas terkait dunia luar (bukan hanya dunia dapur saja).

Sebab, pada dasarnya seorang anak perempuan pasti akan menjadi seorang ibu. Dengan memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas maka dapat dipastikan bahwa ia termasuk ke dalam seorang istri yang kompeten karena ia dapat mendidik secara baik kepada anak-anaknya kelak. Meskipun begitu, tetap saja seorang perempuan juga harus bisa menangani pekerjaan rumah.

“Laki-laki atau perempuan baginya sama saja. Anaknya entah laki-laki entah perempuan hendak dia didik dengan baik, dengan curahan segala rasa kemanusiaan yang wajar. Hendak dia didik supaya jiwa pembedaan antara dunia laki-laki dan perempuan dipenuhi rasa kasih kepada sesamanya.” (Dua Dunia. Dini, 1955: 14)

Kutipan di atas menyatakan dengan sangat jelas terkait pemikiran yang dimiliki oleh pengarang wanita asal Jawa, beliau ingin menunjukkan kepada kita bahwa baik pria maupun wanita itu memiliki porsi yang sama sebagai seorang manusia. Pendidikan yang diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan seharusnya tidak ada perbedaan, mereka harus sama-sama mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang setara.

Aspirasi-aspirasi itulah yang mendorong dan menyadarkan perempuan-perempuan di masa sekarang untuk mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Tak seharusnya seorang wanita mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diperlakukan seenaknya saja, seperti tokoh Iswanti dalam cerpen “Dua Dunia”.

Orang tua pun menjadi pilar yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup anaknya. Maka dari itu, sebagai orang tua sebaiknya jangan terlalu mengikuti standar negatif masyarakat yang masih menganut budaya patriarki sehingga sangat memungkinan untuk memberikan dampak yang tidak baik bagi anak perempuannya.

Daftar Pustaka:

  • Dini, N.H. (2014). Dua Dunia. Bandung: Pustaka Jaya.

Biodata Singkat:

Tsanaa Mahara Haq lahir di Kab. Sukabumi, 25 Oktober 2004. Mahasiswa aktif di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.