Culture Shock Merantau ke Solo

Saya merupakan orang desa yang saat ini sedang merantau di Solo. Kuliah adalah alasan saya untuk tinggal sementara di kota budaya ini.

Anak rantau tentu sudah tidak asing dengan Culture Shock. Culture shock merupakan perasaan tidak nyaman atau cemas yang dialami oleh individu ketika berada di lingkungan baru. Culture shock pasti dialami oleh sebagian besar anak rantau. Hal ini biasanya terjadi di minggu atau bulan pertama setelah pindah ke tempat baru. 

Saya merupakan orang desa yang saat ini sedang merantau di Solo. Kuliah adalah alasan saya untuk tinggal sementara di kota budaya ini. Selama menjadi anak rantau, banyak hal baru yang saya temui dan rasakan. Sebagai orang baru, saya harus bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan budaya setempat.

Culture Shock Merantau ke Solo

Perbedaan di tempat tinggal saya dan di Solo membuat saya mengalami culture shock. Kali ini saya kan membagikan pengalaman culture shock yang saya alami saat menjadi warga baru Solo.

1. Sangat Panas

Sebelum menginjakkan kaki di Kota Solo, yang ada di benak saya adalah suasananya sejuk. Setelah tinggal di Solo saya baru merasakan betapa panasnya kota ini. Keluar rumah sebentar saja sudah membuat kepala pusing saking teriknya. Bahkan pada malam hari pun keringat masih mengucur deras. Sekarang payung menjadi barang wajib yang harus saya bawa saat bepergian.

2. Lalu Lintas Padat

Saya berasal dari desa yang otomatis tidak seramai di kota. Karena hal tersebut, saya cukup kaget melihat padatnya kendaraan di Solo. Mobil dan motor lewat tiada hentinya. Mau menyeberang saja sulit dan kadang butuh waktu lama hingga bisa menyeberang.

Para pengendara sering kali tidak memberikan kesempatan bagi pengendara lain yang ingin menyeberang. Bunyi klakson juga saling bersahut-sahutan hingga membuat jantung berdebar.

3.Teh Kampul

Saya cukup dibuat penasaran dengan teh satu ini. Teh kampul hampir selalu ada di daftar menu penjual es teh. Di daerah saya tidak ada varian teh satu ini. Yang ada di pikiran saya, teh kampul adalah hanya nama teh biasa. Hingga pada akhirnya, saya tahu kalau teh kampul itu teh yang diberi irisan jeruk nipis. Segar sekali rasanya. Cocok diminum di tengah panasnya kota Solo.

4. Menyebut Motor dengan Sepeda

Jika mendengar kata sepeda, yang ada di pikiran saya adalah sepeda yang cara kerjanya dikayuh. Ketika sampai di Solo ternyata warga menyebut sepeda motor itu sepeda.

Saya pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini "sampeyan tindak mriki ngepit?" (kamu ke sini naik sepeda?). Saat itu saya menjawab tidak, ya karena saya tidak bersepeda melainkan motoran. Namun ternyata, kata ngepit itu merujuk pada sepeda motor, bukan sepeda kayuh.

5. Banyak Tukang Parkir

Sebagai anak kos yang tidak memasak. Membeli makan adalah jalan ninja saya. Tiap kali memarkir motor di depan warung makan, pasti ada tarif parkirnya. Parkir sebentar saja harus tetap bayar. Jadi, jika keluar harus sedia uang lebih untuk membayar parkir. Namun, keberadaan tukang parkir juga memudahkan saya karena selalu membantu menyeberangkan jalan.

Culture shock merupakan bagian dari pengenalan lingkungan baru, walaupun butuh waktu yang tidak sebentar untuk membiasakannya, seiring berjalannya waktu kita akan menjadi terbiasa. Tidak nyaman dan selalu ada rasa ingin pulang karena lebih nyaman berada di kampung halaman sangat wajar sobat. Itu menjadi bagian dari tantangan anak rantau juga. Tetap semangat dan berdamai dengan keadaan ya sobat!

Itulah beberapa culture shock yang saya alami sebagai anak kos di Solo. Untuk perantau yang baru datang di Solo. Selamat beradaptasi dan jangan lupa untuk menjelajahi keindahan yang ada di kota ini.

Biodata Penulis:

Vivi Maulida dilahirkan di Kota Ukir pada November 2004. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Kimia di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.