Budaya Sebagai Alat Kampanye: Efektif atau Tidak?

Salah satu kegiatan kampanye adalah blusukan, para Caleg turun ke jalan mengunjungi pemukiman, pasar, atau tempat-tempat strategis lainnya guna ...

Jelang Pemilu 2024, sejumlah masyarakat Indonesia saling berlomba-lomba memperebutkan kursi legislatif. Pemerintah menyiapkan 20.462 kursi yang terdiri dari DPR, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten atau kota. Pemilu ini diselenggarakan di Daerah Pemilihan (Dapil) yang berjumlah 2.372 daerah.

Menurut KPU (Komisi Pemilihan Umum), hanya dari DPR saja terdapat 9.919 calon legislatif resmi yang memenuhi syarat, sedangkan kursi yang tersedia hanya berjumlah 580. Itu artinya, hanya sekitar 5,8% peluang yang dimiliki oleh setiap calon, tentu hal ini akan menimbulkan persaingan yang sangat ketat dalam proses jelang Pemilu atau dalam proses kampanye.

Beberapa pendekatan digunakan oleh para Caleg (Calon Legislatif) untuk menarik hati masyarakat yang kelak akan memilihnya di hari Pemilu. Mulai dari sosial, ekonomi, hingga budaya. Para Caleg kerap melakukan kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan pada masa kampanye.

Salah satu kegiatan tersebut adalah blusukan, para Caleg turun ke jalan mengunjungi pemukiman, pasar, atau tempat-tempat strategis lainnya guna mendekatkan diri kepada rakyat. Selain itu, tidak jarang juga yang membuat acara rakyat seperti acara musik dan seminar. 

Berbagai cara tersebut dilakukan untuk meningkatkan popularitas seorang Caleg, sehingga masyarakat mengetahui eksistensi dari Caleg tersebut dan memahami tujuan serta janji-janji kebijakan atau program pemerintah yang akan dilakukan ketika mereka terpilih.

Dalam kampanye tersebut terdapat berbagai macam tema yang diangkat, salah satunya adalah tema tentang budaya. Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat banyak dan beragam, maka dari itu, cara ini terbilang cukup ampuh dalam menarik perhatian masyarakat.

Budaya Sebagai Alat Kampanye

Caleg yang menggunakan kebudayaan sebagai alat kesuksesan dalam kampanye akan menonjolkan beberapa hal, seperti dari mana Caleg itu berasal dan apa yang akan dia lakukan kepada suatu masyarakat dari kebudayaan tertentu.

Misalnya, terdapat seorang Caleg DPR yang berasal dari Papua, pada masa kampanye, Caleg tersebut beranggapan bahwa jika seseorang yang berasal dari Papua berada di kursi DPR, maka akan membantu kebijakan dan program dalam menyejahterakan masyarakat disana. 

Sebagai contoh, seorang Caleg DPRD Dapil Toraja yang bernama Soren Lambu Langi yang merupakan seorang ketua Partai Buruh Tana Toraja, menjelaskan alasannya bertarung di dunia politik adalah untuk membantu dan melindungi perantau asal Toraja yang bekerja di luar daerah.

Menurut Soren, banyak masyarakat Toraja yang mencari penghasilan di luar Toraja, namun mereka tetap memiliki tanggung jawab terhadap orang tua, keluarga, dan kebudayaan Toraja. Ia menyebutkan bahwa para perantau tersebut memiliki peran penting dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya Toraja terhadap masyarakat luar. Menurutnya, dengan dukungan ekonomi yang diberikan akan melestarikan kebudayaan Toraja seperti Rambu Solo dan Rambu Tuka.

Soren menjadi salah satu contoh Caleg yang mengangkat isu kebudayaan dalam kampanye, bukanlah hal baru yang dilakukan olehnya. Tujuan yang bermanfaat, cara untuk mencapai tujuan tersebut, dan sasaran masyarakat yang tepat menjadi kunci dari kesuksesan Caleg yang menggunakan budaya dalam kampanye.

Tentunya, janji-janji yang diberikan harus sejajar dengan kesungguhan. Jika tujuan-tujuan pada masa kampanye ternyata tidak diwujudkan pada masa menjabat, masyarakat akan geram dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan, mengingat masalah kebudayaan adalah hal yang sensitif di masyarakat Indonesia.

Jika melihat dari segi efektivitas, pendekatan budaya dalam masa kampanye merupakan strategi yang efektif. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, budaya merupakan hal yang sensitif di Indonesia, banyak masyarakat yang memegang teguh dan sangat menghormati adat istiadat atau budaya yang dimilikinya. Hal ini membuat janji yang diberikan oleh para Caleg lebih mudah mengambil hati masyarakat dalam kebudayaan tertentu. Namun, pendekatan budaya ini pun memiliki resiko, kesalahan kecil saja dapat memicu ketidaknyamanan dan kemarahan masyarakat.

Lebih buruknya lagi jika Caleg tersebut hanya modal bicara saja, yang mana setelah terpilih tidak ada aksi yang dilakukan sesuai dengan janji kampanye. Bukan hanya masyarakat yang dirugikan, namun caleg tersebut, partai, dan institusi juga dapat dirugikan.

Penulis: Nabiel Zidan

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.