Gen Z, generasi yang tumbuh besar bersama derasnya arus perkembangan teknologi. Salah satu implementasinya adalah sosial media. Kehidupan Gen Z seperti yang kita tahu, apalagi kaum rebahan, pasti nggak jauh-jauh dari scrolling posting sosial media.
Banyak hal ada di sosial media. Dari hal yang ringan, seperti humor melalui meme dan parodi. Sampai hal yang serius, seperti pendidikan melalui podcast dan berita.
Konten yang beragam membuat Gen Z dan sosial media layaknya bestie. Nggak cuma sekedar memenuhi kebutuhan humor. Ternyata sosial media ini juga bisa jadi alat politik loh.
Kehadiran sosial media udah ngerubah dinamika politik. Strategi komunikasi yang dilakukan nggak lagi dalam bentuk kampanye atau melalui media mainstream. Akan tetapi, melalui media yang lebih interaktif. Pasalnya, Gen Z lebih mudah dijangkau suaranya melalui media yang paling dekat dengan mereka. Apalagi kalau bukan sosial media.
Nah, memasuki tahun politik, tahun panas pemilu 2024. Sosial media gencar digunakan untuk menarik perhatian pemilih. Pelaku politik mulai dari aktor politik sampai partai politiknya bersaing meraih perhatian masyarakat.
Panasnya persaingan kandidat lebih terasa lagi di media sosial. Sifat interaktif medsos itu sendiri yang bikin perang politik makin panas. Apalagi kalau dibandingkan dengan media mainstream, seperti televisi, koran dan majalah. Media mainstream dinilai kurang bebas karena dibatasi oleh aturan-aturan redaksi.
Apa yang kita lihat di media sosial seseorang bisa membangun branding atau citra diri seseorang tersebut. Sayangnya, kita nggak tahu apakah branding ini sesuai dengan kondisi aslinya atau justru pencitraan belaka. Kenyataannya, melalui branding, persepsi publik terhadap seseorang bisa muncul atau bahkan bisa berubah dalam sekejap mata.
Sosial media ini juga menciptakan citra calon presiden yang unik loh di mata Generasi Z. Lebih-lebih melalui meme dan konten viral.
Sebenarnya gimana sih branding ini mempengaruhi "elektabilitas" atau kecenderungan keputusan pemilih, terkhususnya Gen Z dalam memilih calon presiden? Mari kita telusuri lebih jauh.
Hoax, black campaign, dan isu-isu politik yang disebarkan oleh buzzer politik berkembang akhir-akhir ini. Dan kerap kali digunakan untuk meningkatkan elektabilitas kandidat atau bahkan menjatuhkan elektabilitas kandidat lawan. Hal ini bikin khalayak media sosial jadi target potensial aktor politik.
Oleh karena itu, nggak sedikit aktor politik yang pakai sosial media sebagai alat membangun branding-nya. Citra seorang calon presiden di sosial media juga tercermin dari banyaknya konten viral. Ini dia beberapa contohnya:
sumber gambar: Instagram @aniesbaswedan |
Anies Baswedan juga muncul dengan sikapnya yang begitu menyayangi istrinya. sehingga sosok Anies kerap dijuluki future husband yang diidam-idamkan.
sumber gambar: Instagram @ganjar_pranowo |
Ganjar Pranowo bersama dengan anaknya Alam Ganjar. Kedekatan ayah dan anak ini juga membuat netizen melihat sosoknya yang family man.
sumber gambar: Instagram @bobbythek4t |
Prabowo bersama kucingnya bobby. Kehangatan yang ia tunjukkan sehingga kerap dijuluki Cat Boy, ternyata memunculkan persepsi seorang lovely man loh.
Kehangatan dan keharmonisan yang ditunjukkan capres-capres ini kerap dikaitkan dengan isu politik. Masyarakat kadang menganalogikan calon pemimpin yang memiliki kehidupan yang harmonis merupakan calon pemimpin yang ideal pula.
Sikap capres-capres tadi kadang juga dianalogikan sebagai implementasi gaya kepemimpinan mereka. Gimana nantinya mereka mengayomi, melindungi, dan menyayangi masyarakat yang mereka pimpin di masa mendatang.
Pesan-pesan tersirat dan bersifat pribadi yang ditunjukkan capres-capres ini membuat publik bisa mengenal sosok mereka lebih dekat. Setelah itu, akan tumbuh rasa simpati yang berujung pada kecenderungan untuk memilih capres tersebut. Hingga akhirnya, hal ini mempengaruhi elektabilitas calon presiden itu sendiri.
Selain branding, ternyata kecenderungan pro capres juga terlihat dari istilah-istilah yang dibuat netizen loh. Salah satunya, golongan pro-Prabowo yang menggunakan istilah "All In Prabowo" untuk menyuarakan dukungan mereka. Istilah ini banyak banget muncul. Kita bisa melihatnya pada kolom komentar akun-akun sosial media di berbagai platform. Seperti salah satu komentar netizen dari akun Tiktok @rianfahardhi
sumber gambar: Tiktok @rianfahardhi |
Ketatnya persaingan para aktor politik terlihat banget di media sosial. Mulai dari penyebaran pesan-pesan politik (opini, berita, gambar, meme) sampai konstruksi pencitraan dalam bentuk political branding.
Pengaruh branding di sosial media, dan melalui dinamika digital, calon presiden dapat membangun koneksi yang kuat dengan Generasi Z. Kesadaran ini nggak cuma mempengaruhi elektabilitas, tetapi juga membentuk dasar untuk membangun pemimpin yang dipercaya dan dicintai oleh generasi masa depan.
Makanya, Gen Z harus memiliki kemampuan kritis memilah pesan-pesan politik yang ada di media sosial. Gen Z harus bersikap bijak menanggapi konten di sosmed. Tujuannya, agar konten viral nggak dijadikan satu-satunya acuan dalam menentukan pilihan. Nggak cuma modal ikut-ikutan, tetapi Gen Z harus benar-benar tahu siapa yang dipilih untuk memimpin negeri ini.
Biodata Penulis:
Arum Setiawati lahir pada tanggal 27 Mei 2004.