Antisipasi Pelecehan Demokrasi oleh Hoaks Menjelang Pemilu di Era Digitalisasi

Seperti yang kita tahu, media sosial merupakan tempat bagi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau berkomentar di setiap postingan.

Hoaks merupakan salah satu bentuk gangguan informasi yang sering kita jumpai dan dapat membawakan dampak yang cukup fatal baik bagi pemberi informasi, penerima, atau orang yang bersangkutan dengan informasi yang disebar.

Gangguan informasi terbagi menjadi tiga macam berdasarkan kebenaran dan tujuannya, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.

Misinformasi adalah penyebaran informasi tidak benar atau keliru dan disebarluaskan tanpa maksud untuk menipu. Berbeda dengan disinformasi yang berupa penyebaran informasi salah namun secara sengaja disebar dengan tujuan mengelabui penerima. Sama halnya dengan yang kita kenal dengan sebutan hoaks atau berita bohong. Para pembuat berita hoaks dalam penyebarannya memiliki tujuan untuk merekayasa kenyataan atau membuat-buat informasi yang dapat memutarbalikkan fakta.

Dalam beberapa kasus, penyebaran hoaks bisa juga sulit untuk dihentikan dan diketahui kunci masalahnya atau sumber informasi itu pertama kali dibuat. Ditambah di era serba digital seperti sekarang ini, segala informasi dengan sangat mudah dan cepat bisa menjangkau ke hampir seluruh dunia.

Hal itu juga sekaligus memperbesar celah adanya disinformasi atau hoaks karena ketika kita ditempatkan dalam situasi 'banjir informasi' yang kemudian tidak adanya pemahaman yang memadai akan isu atau topik yang diangkat informasi tersebut, kita akan cenderung asal mencerna informasi tanpa mengetahui kevalidannya.

Apalagi saat ini, pertukaran informasi secara global tidak hanya lewat platform-platform yang memiliki kredibilitas tinggi seperti media berita, media sosial yang penggunanya memiliki cara pandang yang beragam.

Hoaks Menjelang Pemilu

Seperti yang kita tahu, media sosial merupakan tempat bagi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau berkomentar di setiap postingan. Namun, seiring berjalannya waktu platform ini bertransformasi dari yang asalnya tempat bertukar pikiran, pengalaman, atau cerita, kini media sosial seperti X, TikTok, Instagram, WhatsApp, YouTube, Facebook, dan lainnya dapat memberikan informasi terkait berbagai hal selayaknya media sejenis berita. Hal inilah yang kemudian menjadi titik awal maraknya penyebaran disinformasi terjadi.

Terlebih di era kemajuan teknologi, sebagian besar kalangan manusia memiliki setidaknya satu akun media sosial. Sehingga semakin mudah pula informasi yang belum jelas kebenarannya itu untuk menyebar dari satu platform ke platform lainnya.

Selain dari informasi yang bebas dapat disebarkan, di platform media sosial juga tidak ada regulasi terlebih dahulu seperti halnya editor di media berita yang dapat menjamin kredibilitas akan informasi yang dimuat.

Hal ini terbukti dengan beberapa kasus yang saat ini banyak ditemukan. Seperti yang saat ini banyak ditemukan gejolak panas yang ditimbulkan dari fitnah beberapa oknum yang menyerang politisi yang berniat maju di pemilihan presiden.

Di tengah suasana gejolak pemilihan umum presiden 2024 inilah, hoaks atau fitnah semakin marak dibuat dan yang tak lain dan tak bukan ditujukan kepada calon-calon presiden tersebut.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie, "Di awal tahun 2023 terdapat kenaikan dari 51 isu hoaks Pemilu sepanjang tahun 2022. Per tanggal 18 September ini ditemukan lebih dari 152 isu hoaks," ujar Budi di acara #YukPahamiPemilu bersama Google di Jakarta, Rabu (20/9). "Sehingga total isu hoaks sejak 2018 sampai 19 September 2023 sebanyak 1.471 isu hoaks," imbuhnya.

Dari sini dapat dibayangkan seberapa fatalnya penyebaran hoaks atau fitnah ini jika itu tidak ditangani lebih lanjut. Terlebih para calon pemilih presiden tahun depan mendatang akan didominasi oleh generasi muda yang lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial.

Seperti salah satu hoaks yang baru-baru ini tersebar di salah satu media sosial yaitu X:

Di dalamnya diperlihat video yang berisikan penampakan salah satu calon presiden, Pak Ganjar bersama presiden Indonesia saat ini, Pak Jokowi yang jalan bersama menuntun tangan ketua partai PDI-P, Megawati. Di sana disorot bagaimana gestur Megawati diartikan menggambarkan kerenggangan hubungannya dengan Jokowi. Padahal video tersebut merupakan hasil rekayasa atau suntingan yang dibuat untuk memfitnah atau merugikan salah satu pihak. Entah itu partai, kader, atau Megawati, Jokowi, dan Ganjar sendiri.

Dilihat dari jumlah suka pada postingan tersebut, dapat diasumsikan berita hoaks tersebut belum menjamah banyak mata dan dari kolom komentar pun banyak yang sudah mengetahui bahwa itu merupakan hoaks. Namun tidak bisa dipungkiri pula jika video itu diunggah kembali di media sosial lain atau bahkan sebelumnya sudah banyak yang melihat itu dan tidak mengetahui kebenarannya.

Terlebih dari contoh di atas saja, oknum yang mengunggah video tersebut saja merupakan akun media yang seharusnya memiliki kredibilitas tinggi karena berperan menjadi sumber utama penerima informasi. Ini justru malah akan semakin fatal apabila video tersebut sampai di media besar dan masih menyampaikan dengan segala kebohongannya. Meski oknum-oknum yang seterusnya menyebarkan informasi tersebut termasuk misinformasi namun hal ini juga dapat membawa dampak dan nilai yang sama merugikannya terhadap orang yang bersangkutan.

Maka dari itu penting bagi kita untuk selalu membuka mata dan waspada akan informasi yang bertebaran, terlebih di media sosial yang tidak ada penyaringan. Utamakan menyerap informasi dari media yang kredibilitasnya tidak dirugikan lagi, juga berperan aktif dalam menyikapi berita hoaks yang kita tahu kebenarannya berupa laporan kepada aduankonten@mail.kominfo.go.id milik Menteri Komunikasi dan Informatika, sehingga dapat ditindaklanjuti.

Selain itu juga kita dapat memeranginya dengan memberikan informasi yang mematikan berita hoaks tersebut, atau dalam kata lain kita menyampaikan kebenaran dari kebohongan yang tersebar. Karena jika bukan kita, suara demokrasi akan ternodai karena berita yang memprovokasi. Sesuatu yang seharusnya murni malah mereka gunakan untuk memantik api.

Biodata Penulis:

Annis Leily Nabila saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.