Sisa Kanak-Kanak
Orang-orang berlalu lalang dalam keramaian pesta karapan
Kulihat cemara udang di tepi laut, membungkuk takjub
seperti nasib perawan saat cinta dan asmara hanya ditulis
atas nama keluhuran buah surga yang disebut bakti
Kugenggam masa lalu, ziarah Asta Tinggi
Bersama celoteh bocah dan musim buah srikaya
Darah leluhur mengaliri nadi, batu putih,
alun-alun, Labang Mesem berayun-ayun
saat leluhur mengikat janji lalu "Kun!"
Sepanjang pesisir, perahu nelayan berbaris
pasir pantai menjejak langkah semakin ritmis
atas nama jati diri, dua kaki kini terbelah
kebimbangan meraja.
Petis dan singkong lumer oleh waktu,
Selain deru karapan dan asap tembakau
menguar di udara, bersama suara pecut,
Apa yang tersisa dari masa lalu, selain silsilah
dan peribahasa. Sedang hidup seperti berlari cepat
Suramadu menjauhkanku dari jejak leluhur,
serpihan jiwaku yang tercerabut dari tanah akar,
sesakit luka pada kenangan yang terbakar.
Jati Asih, 2015
Sumber: Sisa Cium di Alun-Alun (2016)
Analisis Puisi:
Puisi seringkali menjadi medium untuk merenungkan perubahan dalam kehidupan dan menyelami jejak-jejak masa lalu. Dalam puisi "Sisa Kanak-Kanak" karya Weni Suryandari, penyair mengeksplorasi perubahan yang melibatkan kehidupan, budaya, dan identitasnya.
Keramaian Pesta Karapan dan Cemara Udang: Penyair membuka puisi dengan gambaran keramaian pesta karapan dan mencermati cemara udang di tepi laut. Ini menciptakan citra keramaian dan kekaguman terhadap alam. Namun, melalui ungkapan "seperti nasib perawan saat cinta dan asmara hanya ditulis atas nama keluhuran buah surga yang disebut bakti," penyair menyiratkan keterbatasan dalam pemahaman cinta dan kehidupan.
Ziarah ke Asta Tinggi dan Masa Lalu yang Dipegang Erat: Penyair memegang masa lalu seperti ziarah ke Asta Tinggi. Celoteh bocah dan musim buah srikaya menciptakan gambaran kebahagiaan masa kecil. Momen ini dihubungkan dengan darah leluhur yang mengalir, menciptakan koneksi emosional dan spiritual dengan akar budaya.
Batu Putih, Alun-Alun, dan Labang Mesem sebagai Simbol Kekuatan Spiritual: Penyair menggunakan simbol-simbol seperti batu putih, alun-alun, dan Labang Mesem untuk merujuk pada kekuatan spiritual dan tradisional. Janji yang diikat oleh leluhur tercermin dalam ungkapan "saat leluhur mengikat janji lalu 'Kun!'" Menghubungkan kekuatan spiritual dengan jejak masa lalu memberikan dimensi keagamaan pada puisi.
Perubahan di Pesisir dan Dua Kaki yang Terbelah: Penyair menggambarkan perubahan di pesisir dengan perahu nelayan berbaris dan dua kaki yang terbelah. Gambaran ini mencerminkan kebimbangan meraja dan konflik identitas. Perubahan ini terjadi seiring waktu dan modernisasi, menciptakan keraguan dalam menjaga jati diri.
Deru Karapan, Asap Tembakau, dan Sisa-Sisa Masa Lalu: Suara deru karapan, asap tembakau, dan sisa-sisa masa lalu menggambarkan perubahan dalam kehidupan. Suramadu menjadi simbol yang menjauhkan penyair dari jejak leluhur, mengingatkan pada perpisahan dengan akar budaya dan serpihan jiwa yang terlepas.
Kenangan yang Terbakar dan Luka pada Jejak Masa Lalu: Penyair menyampaikan kesedihan dengan pernyataan bahwa hidup seperti berlari cepat, dan Suramadu menjauhkan dari jejak leluhur, menyebabkan "serpihan jiwaku yang tercerabut dari tanah akar, sesakit luka pada kenangan yang terbakar." Ini menciptakan gambaran kesedihan dan kehilangan yang mendalam akibat perubahan dan modernisasi.
Puisi "Sisa Kanak-Kanak" karya Weni Suryandari adalah puisi yang merenungkan perubahan dalam kehidupan, budaya, dan identitas. Penyair berhasil menggambarkan perubahan melalui berbagai simbol dan gambaran yang penuh makna. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan betapa pentingnya menjaga akar budaya dan menghormati jejak masa lalu, sambil menyadari bahwa perubahan adalah bagian alami dari kehidupan.
Karya: Weni Suryandari
Biodata Weni Suryandari:
- Weni Suryandari lahir pada tanggal 4 Februari 1966 di Surabaya, Indonesia.