Ratap Ibu
Anakku tuan remaja putri,
Buah hati cahaya mata;
Hari raya sebesar ini,
Mengapa tuan tak bangun jua.
Bangun tuan, bangun nak kandung,
Bangun nak sayang, muda rupawan;
Sampai hati anakku tuan,
Membiarkan bunda duduk berkabung.
Lihatlah nasi telah terhidang,
Pakailah kain berlipat-lipat:
Tuan penanti jamu yang datang,
Akan menjelang kaum kerabat.
Bunyi tabuh menggegar bumi,
Bunyi petasan gegap gempita;
Penuh sesak di jalan raya,
Segala umat bersuka hati.
Parau suara kering rangkungan,
Memanggil tuan emas juita;
Mengapa tidak tuan dengarkan,
Suka melihat ibu berduka.
Tersirap darah gemetar tulang,
Melihat gadis duduk bersenda;
Wajah tuan sedikit tak hilang,
Serasa anakku duduk beserta.
Aduhai gadis anakku sayang,
Masih teringat, terbayang-bayang;
Di hari raya tahun dahulu,
Tuan duduk di hadapan ibu.
Bunda selalu dengar-dengaran,
Sebagai mendengar suara tuan;
Perangai menjadi bayangan mata,
Peninggalan seakan racun yang bisa.
Anakku, tak tertahan tak terderita,
Tersekang nasi dalam rangkungan;
Terbang semangat letih anggota,
Bila bunda teringat tuan.
Ke rimba mana bunda berjalan,
Lautan mana kan bunda arung;
Agar bertemu anakku tuan,
Supaya terhibur hati yang murung.
Anakku, kekasih ibu,
Buah hati junjungan ulu;
Lengang rasanya kampung negara,
Sunyi senyap di hari raya,
Bunda sebagai hidup sendiri,
Selama tuan tak ada lagi.
Tidak berguna sawah dan bendar,
Emas intan tidak berharga;
Rumah besar rasa terbakar,
Untuk siapa kekuatan bunda.
Aduh kekasih, aduh nak sayang,
Di mana tuan terbaring seorang;
Bawalah ibu sama berjalan,
Mengapa bunda tuan tinggalkan.
Sumber: Puisi Baru (1996)
Analisis Puisi:
Puisi "Ratap Ibu" karya Sariamin Ismail menciptakan gambaran yang mengharukan dan penuh kepedihan tentang seorang ibu yang meratapi kepergian anaknya pada hari raya. Puisi ini menyajikan berbagai lapisan emosi, mulai dari keinginan akan kehadiran anak yang merupakan cahaya mata hingga rasa kehilangan yang mendalam.
Ekspresi Rasa Keinginan dan Kehadiran Anak: Penyair dengan sangat kuat menyampaikan rasa keinginan dan kerinduannya akan kehadiran anaknya pada hari raya. Ia menunjukkan bahwa keberadaan anak menjadi pilar kebahagiaan dan kelengkapan hidup ibu, terutama pada momen-momen penting seperti hari raya.
Gambaran Hari Raya yang Melankolis: Meskipun hari raya biasanya diwarnai dengan kegembiraan dan keberkahan, dalam puisi ini, hari raya menjadi momen melankolis dan penuh kehampaan karena absennya sang anak. Suasana keriaan yang dirayakan oleh orang lain hanya menyoroti rasa kehilangan dan kesendirian ibu.
Bunyi-Bunyi dan Suara Hari Raya: Puisi menciptakan gambaran melalui bunyi-bunyi dan suara-suaranya, seperti bunyi tabuh, petasan, dan kegembiraan umat di jalan raya. Namun, bagi ibu yang meratapi kehilangan anak, semua suara itu menjadi parau dan terdengar seolah-olah memanggil sang anak.
Penggambaran Kekosongan Tanpa Anak: Tanpa kehadiran anak, segala sesuatu menjadi hampa dan tidak berarti bagi ibu. Rumah besar, sawah, benda berharga seperti emas dan intan, semuanya kehilangan nilai dan kebermaknaan tanpa kehadiran sang anak.
Perangai sebagai Bayangan Mata: Penyair menyampaikan bahwa perangai anak menjadi bayangan mata yang terus-menerus muncul dalam ingatan ibu. Bahkan saat hari raya dan keriaan di sekitarnya, perangai anaknya yang meninggal menjadi racun yang tak bisa dihilangkan.
Pemanggilan dan Harapan untuk Bertemu Kembali: Puisi ini memuat pemanggilan dan harapan ibu untuk bertemu kembali dengan anaknya. Harapan untuk menyatukan kembali keluarga, menghapus kesedihan, dan menghilangkan kesendirian ibu menjadi tema sentral.
Pemberian Kekuatan dari Anak: Meskipun anak sudah pergi, ibu masih merasakan kekuatan dari bayangan anaknya. Kehadiran anak yang dulu menjadi pemberi semangat dan kehidupan bagi ibu.
Puisi "Ratap Ibu" menciptakan gambaran yang mendalam tentang rasa kehilangan dan kepedihan seorang ibu yang meratapi kepergian anaknya pada hari raya. Dengan menggambarkan momen-momen penting dan melibatkan elemen suara, puisi ini menyentuh hati pembaca dan mengajak untuk merenung tentang nilai-nilai keluarga, kehilangan, dan harapan untuk bertemu kembali di hari raya yang akan datang.
Karya: Sariamin Ismail (Seleguri)
Biodata Sariamin Ismail:
- Sariamin Ismail lahir pada bulan Juli 1909 di Talu, Pasaman, Sumatra Barat. Ia sering memakai nama samaran Selasih dan Seleguri. Nama samarannya yang lain adalah Dahlia, Seri Tanjung, Seri Gunung, Seri Gunting, Ibu Sejati, Bunda Kandung, Kak Sarinah, dan Mande Rubiah.
- Sariamin adalah penulis yang tercatat sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia. Ia meninggal dunia pada tanggal 15 Desember 1995 di Pekanbaru.