Musim Panas di Amsterdam
Musim panas di Amsterdam
Bunyi lonceng gereja terdengar amat jelas
Di antara rumah-rumah bordil
Di antara rumah makan dan diskotik
Di antara kino-kino pertunjukan bebas
Suara riuh tawa canda orang mabuk
Terdengar di langkah dekat dan jauh
Kekasih, aku telah berdusta
Oleh menghitung banyak warna
Di remang malam yang hidup
Seperti menyapu nuansa kelam
Menggantang lentera tua
Tak mungkin tiba menemuimu kembali
Mencoba mencapai jembatan kanal
Mengayun tangan buat melambai
Musim panas di Amsterdam zeedijk
Bunyi lonceng gereja menggema perlahan
Di antara perahu-perahu rondvart
Kubaca sebuah nama yang amat kukenal
Dan ini saatnya …Selamat tinggal…
8 Juni 2007
Sumber: Constance (2011)
Analisis Puisi:
Puisi "Musim Panas di Amsterdam" karya Shinta Miranda menciptakan gambaran kehidupan dan perasaan dengan nuansa yang khas, mengangkat atmosfer kota Amsterdam pada musim panas.
Deskripsi Kota Amsterdam pada Musim Panas: Puisi ini menggambarkan kehidupan di Amsterdam selama musim panas dengan elemen-elemen yang khas. Lonceng gereja, rumah-rumah bordil, rumah makan, diskotik, kino, semuanya menciptakan lanskap kota yang hidup dan dinamis. Penggunaan kata-kata seperti "bunyi lonceng gereja terdengar amat jelas" memberikan kesan autentisitas dan kehadiran yang kuat dalam menggambarkan suasana kota.
Suasana Malam yang Penuh Warna dan Hidup: Penyair menyampaikan bahwa dia berdusta oleh banyak warna di remang malam yang hidup. Ini mungkin merujuk pada nuansa dan keragaman kehidupan malam di Amsterdam selama musim panas. Dalam suasana yang dipenuhi dengan riuh tawa dan canda orang mabuk, terdapat kesan keceriaan dan kehidupan yang dipenuhi warna-warni.
Pengakuan Kepada Kekasih: Pengakuan bahwa "kekasih, aku telah berdusta" memberikan dimensi emosional pada puisi. Penyair menyampaikan perasaan penyesalan atau kebohongan yang dialaminya, dan pemilihan kata-kata seperti "menghitung banyak warna" mungkin mengindikasikan kebingungan atau keraguan yang dirasakannya.
Pemandangan Zee Dijk dan Perasaan Perpisahan: Penggambaran Zee Dijk menambahkan latar belakang dan karakteristik Amsterdam yang lebih khusus. Puisi menciptakan suasana yang agak melankolis dengan bunyi lonceng gereja yang menggema perlahan, dan pembaca dapat merasakan momen perpisahan yang mendalam. "Dan ini saatnya... Selamat tinggal..." menciptakan titik puncak perasaan perpisahan dalam puisi.
Musikalitas dan Ritme: Puisi ini memiliki ritme dan irama yang khas, memberikan kesan seperti nyanyian atau lantunan lagu. Bunyi-bunyian dan perasaan gerak yang dihasilkan oleh kata-kata menciptakan kesan musikalitas yang memperkaya pengalaman pembaca.
Kesan Kesendirian dan Melankolis: Meskipun suasana Amsterdam di musim panas dijelaskan sebagai hidup dan penuh warna, ada elemen kesendirian dan melankolis dalam pengakuan kebohongan dan momen perpisahan. Puisi ini menggabungkan dua nuansa yang bertentangan untuk menciptakan pengalaman pembaca yang beragam dan kompleks.
Puisi "Musim Panas di Amsterdam" karya Shinta Miranda membawa pembaca ke dalam suasana kota yang hidup pada musim panas, dengan sentuhan warna-warni dan melodi malam. Sementara deskripsi kota memberikan gambaran tentang kehidupan urban, pengakuan dan momen perpisahan memberikan dimensi emosional yang mendalam pada puisi ini.
Karya: Shinta Miranda
Biodata Shinta Miranda:
- Shinta Miranda lahir pada tanggal 18 Mei 1955 di Jakarta.