Puisi: Laut Air Mata (Karya Weni Suryandari)

Puisi "Laut Air Mata" menyoroti masalah kritis dalam masyarakat, termasuk ketidakadilan, kehilangan nilai kemanusiaan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Laut Air Mata


Yang aku tahu, udara berlubang
kematian sembunyi di balik karang
di bawah bulan keperakan pohon
trembesi pucat pasi, bau mayat di televisi, berita basi

bermalam-malam kudengar burung gagak
meniti jarak hingga jarum waktu membidik
sunyi, segala sia sia. Jantung beku

kemanusiaan mati suri, seperti
menulis di pelepah busuk segala
mengutuk, terantuk pada imaji
negeri satu warna

Oh, kau yang mampir di rumah ibadah,
yang menjual ayat-ayat kesucian!
Tulislah di kening tentang kematianmu
sendiri. Larungkan pada laut air mata
dan kita berlayar di atas duka manusia
atas nama dogma dan tuhan tuhan kecilmu

2014

Sumber: Media Indonesia (25 Januari 2015)

Analisis Puisi:

Puisi "Laut Air Mata" membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh ketidakpastian yang diwarnai oleh kritik sosial dan ketidakadilan. Melalui imaji-imaji yang kuat dan metafora yang dalam, penyair menciptakan suasana yang mencekam dan meresapi kehidupan modern.

Udara Berlubang dan Kematian: Pembukaan puisi dengan baris "Yang aku tahu, udara berlubang" memberikan gambaran tentang kerentanan lingkungan dan ketidakseimbangan ekologis. Hubungan antara lubang udara dan kematian menunjukkan dampak destruktif manusia terhadap alam.

Bau Mayat di Televisi: Metafora "bau mayat di televisi" menggambarkan ketidakseimbangan informasi di media. Berita yang berulang kali tentang kematian dan tragedi mungkin telah kehilangan nilai kemanusiaan, menjadi rutinitas yang menyakitkan.

Burung Gagak dan Jarum Waktu: Gambaran burung gagak yang meniti jarak dan jarum waktu yang membidik sunyi menciptakan suasana keheningan yang menegangkan. Ini bisa mencerminkan perasaan isolasi dan ketidakpastian yang mendalam.

Jantung Beku dan Kemanusiaan Mati Suri: Konsep jantung yang beku dan kemanusiaan yang mati suri merujuk pada kehilangan empati dan kehangatan dalam masyarakat. Hal ini bisa menjadi kritik terhadap kekerasan atau ketidakpedulian terhadap penderitaan sesama.

Ayat-Ayat Kesucian dan Negeri Satu Warna: Penggunaan "ayat-ayat kesucian" dan "negeri satu warna" mungkin merujuk pada polarisasi dan intoleransi dalam masyarakat. Keberagaman diabaikan, dan warna menjadi simbol ketidaksetaraan atau diskriminasi.

Rumah Ibadah dan Dogma: Penggambaran rumah ibadah yang dikunjungi oleh yang "menjual ayat-ayat kesucian" bisa mencerminkan manipulasi agama untuk kepentingan tertentu. Dogma dan tuhan-tuhan kecil ditempatkan sebagai simbol otoritas yang memicu kepedihan dan penderitaan.

Laut Air Mata dan Layar di Atas Duka Manusia: "Laut air mata" menjadi metafora bagi penderitaan dan kesedihan yang melanda manusia. Berlayar di atas duka manusia menciptakan citra kepemimpinan atau otoritas yang mungkin mengeksploitasi atau mengabaikan kebutuhan rakyat.

Puisi "Laut Air Mata" adalah penggambaran gelap tentang realitas kehidupan modern. Dengan menggunakan gambaran alam dan metafora yang kuat, penyair menyoroti masalah kritis dalam masyarakat, termasuk ketidakadilan, kehilangan nilai kemanusiaan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenung dan merasakan kepedihan yang ada di balik kata-kata.

Weni Suryandari
Puisi: Laut Air Mata
Karya: Weni Suryandari

Biodata Weni Suryandari:
  • Weni Suryandari lahir pada tanggal 4 Februari 1966 di Surabaya, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.