Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku (Karya Shinta Miranda)

Puisi "Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku" menggambarkan kepedihan, kehilangan, dan pencarian makna dalam kehidupan yang penuh dengan penderitaan.
Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku


Bulan nopember saat angin lebih rajin menari salsa
Dan sulit buat diri ini mengikuti iramanya
Maka kedua kakiku lebih suka berdiam sekala
Untuk menekuk dan pergi terbang ke Pattaya
Mendatangi rumah para hamba
di tengah malam pukul dua belas
Mungkin mampu menimba secedok demi secedok air
Sebab telah menipis tempayan jiwa
Hamba yang hidup papa menyambut aku yang jelata
Menghampar ke pondok beratap rumbia
Tempat mereka menata nyata setiap hati
Menghampakan diri menajamkan telinga
Untuk dengar-dengaran sabda pandita

Hari kedua di pinggir pattaya yang panas berangin
Menyapu pasir menatap surya yang hampir terbenam
Menyapu air laut dengan jingganya,
Bagai pelukis berpamor, menunjukkan kepiawaian
Dan nafasku berhenti menatapnya
Ingin berteriak tak jua bersuara
Ketika ombak pattaya menyapu kedua kaki
Menyipratkan bau basah bergaram ke sekujurku
Maka aku menjerit sejadi-jadinya
"Kembalikan milikku satu-satunya…!!!"
"Penghuni laut laknat tak berhati…!!!"

Hari ketiga di pondok beratap rumbia. Seorang hamba
membawaku ke sebuah rumah di lahan yang sama. Sebuah
bangal berisikan enam buah ranjang, berbaris tiga tiga. Berisikan
manusia-manusia yang sedang sekarat menanti berkat.

Seorang laki-laki muda usia memanggilku dengan tangannya,
"Lady, lady, please come to me. Your face, your face. My wife
My wife!" Menghampirinya dan memeluknya dalam tangis
pilu seorang suami yang menanti mempelai dalam penantian
kematiannya tak pernah kunjung ada yang dirindukan.

Hari keempat di rumah perawatan penderita aids
Makan bersama dalam bangsal
Bercerita dan bersenda gurau
Bagai tersekat raga dan jelaga hidup
Menampung setiap tetes air mataku
Memeluk laki-laki muda usia menghembus nafas hidup akhir
Meregang erat dalam jemariku

Hari kelima di Pattaya
Di tepi pantai siang panas berangin
Kumenuang air mata yang kutampung
Biarkan menguap oleh matahari yang menghidupkan
Melarung jasad hancur bertulang-tulang
Menyatulah engkau, bertemulah engkau
Dengan mempelaiku di tubir laut dalam
Atau terbang mengangkasa di langit besar
Tak ada jerit menyakitkan
Tak ada tangis mengisak
Semua merampung di saat teduh
Di haribaan bumi yang menjadi kecil


Thailand-Pattaya, Lamluka, November 2008-St Claire Hospice di suatu desa 60 km dari Bangkok

Sumber: Constance (2011)
Analisis Puisi:
Puisi "Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku" karya Shinta Miranda menggambarkan perjalanan emosional dan spiritual penyair di tengah-tengah kehidupan yang keras dan penuh penderitaan.

Gambaran Bulan November dan Angin Salsa: Puisi ini dimulai dengan suasana Bulan November dan angin salsa yang menari. Gambaran ini menciptakan latar belakang yang atmosferik dan meresap. Pemilihan Bulan November mungkin memiliki konotasi melankolis atau penuh tantangan, sementara angin salsa menunjukkan kehidupan yang energetik dan berirama.

Keputusasaan dalam Pertemuan di Pattaya: Penyair menggambarkan dirinya berdiam diri dan kemudian memutuskan untuk pergi ke Pattaya. Pattaya muncul sebagai tempat penuh kehidupan dan kegembiraan, tetapi kesedihan dan keputusasaan masih ada di hati penyair. Tema kehilangan dan kekosongan tampak dalam seruan untuk mengembalikan "milikku satu-satunya."

Pengalaman di Pondok Beratap Rumbia: Penggambaran pondok beratap rumbia sebagai tempat bertemunya hati dan dengar-dengaran sabda pandita menambah dimensi spiritual pada puisi ini. Pondok tersebut menjadi tempat pertemuan dengan makna dan tujuan yang lebih dalam, memberikan warna pada perjalanan emosional penyair.

Pertemuan dengan Penderita AIDS: Puisi ini menggambarkan perjalanan ke rumah perawatan penderita AIDS di Pattaya. Melalui gambaran seorang suami yang menanti kematian dan momen pelukan terakhirnya, penyair menyentuh tema kemanusiaan dan penderitaan.

Kesedihan di Tepi Pantai: Bagian yang mencolok dari puisi ini adalah ketika penyair menumpahkan air mata di tepi pantai. Momennya dipaparkan dengan kuat, memberikan gambaran yang sangat emosional dan memilukan. Teriakan dan tangis menggambarkan perasaan kehilangan dan kepedihan yang mendalam.

Puncak Puisi, Bertemu dengan Mempelaiku di Tubir Laut: Puncak puisi mencapai klimaks ketika penyair memohon agar "bertemulah engkau dengan mempelaiku di tubir laut dalam." Pertemuan ini mungkin merujuk pada rekonsiliasi dengan penderitaan, pemberian makna, atau bahkan pertemuan dengan spiritualitas atau makhluk gaib.

Akhir yang Penuh Ketenangan: Puisi berakhir dengan suasana tenang dan damai di "haribaan bumi yang menjadi kecil." Kata-kata terakhir menciptakan citra ketenangan setelah perjalanan penuh emosi dan penderitaan.

Puisi "Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku" menciptakan narasi yang kuat dan emosional tentang perjalanan pribadi dan spiritual. Melalui gambaran-gambaran yang indah dan kata-kata yang penuh makna, penyair berhasil menggambarkan kepedihan, kehilangan, dan pencarian makna dalam kehidupan yang penuh dengan penderitaan.

Puisi
Puisi: Bertemulah Engkau dengan Mempelaiku
Karya: Shinta Miranda

Biodata Shinta Miranda:
  • Shinta Miranda lahir pada tanggal 18 Mei 1955 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.