Anak-Anak Masa Depan
Aku bukan ras terakhir dari peradaban tua
Rapuh ditelan bulan, bayang-bayang musim kawin
Santapan syahwat yang menagih percik embun malam
Sedang kesucian tetap hidup di jantung Maria
Kudengar angin menyeret tawa dari Utara
Sedang tubuhku menelan kemelut zaman tanpa ibu
meresap serupa tanah, akar dan pohon kepada air
Kudengar tangis anak-anak selokan menagih susu
bukan nyanyian peri, menghibur hati yang pasi
Inilah percintaan Timur dan Barat berjumpa di kepala
Bergulir peradaban, jutaan aku tenggelam dalam tangis
di lubang nyawa, sedang anak-anak rahim,
kehilangan bapak kehidupan
Aku bukan ras terakhir dari peradaban pincang
Tapi berjalan tegak, memberi payung pada
anak-anak masa depan
2014
Sumber: Suara Merdeka (12 April 2015)
Analisis Puisi:
Puisi "Anak-Anak Masa Depan" karya Weni Suryandari menggambarkan perpaduan antara masa lalu dan masa depan, kehidupan dan kehilangan, serta realitas dunia yang dihadapi oleh generasi masa depan.
Kontras Masa Depan dan Masa Lalu: Puisi ini membuka dengan pernyataan bahwa pembicara bukanlah ras terakhir dari peradaban tua. Hal ini menggambarkan kesinambungan sejarah dan perpindahan dari masa lalu ke masa depan. Kontras antara peradaban tua dan masa depan membentuk latar belakang untuk eksplorasi tema-tema yang lebih dalam.
Simbolisme Bulan dan Embun Malam: Simbolisme bulan dan embun malam memberikan dimensi romantisme dan keindahan pada puisi. Meskipun peradaban tua sudah rapuh, ada keindahan yang terus hidup, terutama dalam kesucian yang tetap ada di hati Maria. Simbol ini menciptakan rasa keabadian dan kemurnian yang bertahan melalui waktu.
Realitas Zaman Tanpa Ibu: Ekspresi "meresap serupa tanah, akar dan pohon kepada air" menyoroti keterhubungan manusia dengan alam dan bagaimana kita menyerap kemelut zaman tanpa panduan dan bimbingan yang memadai. Puisi ini mencerminkan kerumitan hidup modern yang terkadang kehilangan arah dan kedalaman nilai-nilai kemanusiaan.
Angin dari Utara dan Tangis Anak-Anak Selokan: Penggunaan angin dari Utara menghadirkan elemen perubahan dan kearifan dari arah tersebut. Sementara itu, tangis anak-anak selokan memberikan kontras dengan tawa angin, menyoroti konflik dan penderitaan yang mungkin dihadapi oleh mereka yang kurang beruntung di tengah-tengah kemajuan peradaban.
Percintaan Timur dan Barat: Pernyataan "percintaan Timur dan Barat berjumpa di kepala" menyiratkan pengaruh dan percampuran budaya. Ini menggambarkan kompleksitas dunia modern yang disatukan oleh perbedaan dan perpaduan, menggambarkan kehidupan yang semakin global dan terhubung.
Payung untuk Anak-Anak Masa Depan: Pernyataan "berjalan tegak, memberi payung pada anak-anak masa depan" menekankan tanggung jawab pembicara untuk memberikan perlindungan dan arahan kepada generasi penerus. Ini menciptakan gambaran positif dan optimis tentang peran pembicara dalam membimbing anak-anak masa depan.
Puisi "Anak-Anak Masa Depan" menggabungkan elemen simbolis dan metaforis untuk menyampaikan pesan tentang kehidupan, kehilangan, dan tanggung jawab terhadap generasi masa depan. Dengan menggambarkan perpaduan antara masa lalu dan masa depan, puisi ini mengeksplorasi realitas kompleks dari dunia modern.
Karya: Weni Suryandari
Biodata Weni Suryandari:
- Weni Suryandari lahir pada tanggal 4 Februari 1966 di Surabaya, Indonesia.