Penilaian karya sastra sebagian besar tergantung dari kaitan antara karya sastra atau pencipta dengan pembacanya. Hal ini diikuti oleh latar belakang sosio-budaya yang dimiliki oleh pembaca. Oleh karena itu, merincikan pembaca dalam karya sastra dalam pemaparannya haruslah setidak-setidaknya berada dalam dua segi, yaitu segi sosial dan segi waktu. Efek yang ditimbulkan karya sastra bagi pembaca dirumuskan oleh Horatius. Di mana seniman bertugas untuk memberikan ajaran dan kenikmatan, dan seni harus menggabungkan sifat bermanfaat (utile) dan manis (dulce).
Sastra aliran Realisme-Sosialis adalah contoh yang jelas. Sebagaimana Karl Marx berpendapat bahwa seni harus menggambarkan atau mencerminkan realitas sosial-ekonomi dan berfungsi sebagai alat untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Selanjutnya, seni bertanggung jawab untuk melibatkan pembaca dalam proses pembongkaran masyarakat.
Kita mendapati unsur C yaitu controlling factors di dalam model pendekatan karya sastra Foulkes. C dimaknai sebagai keseluruhan faktor yang dalam proses komunikasi dan pemahaman karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca terhadap karya yang dihadapinya. Ini merupakan argumen kuat Foulkes untuk menolak keras aliran strukturalisme New Criticism. Menurutnya, aliran elit ini melepaskan karya sastra dari konteks sosialnya, menghilangkan relevansi kemasyarakatan dari karya sastra.
Sesudah tahun 1930, aliran Formalis dilarang oleh Joseph Stalin, diktator Rusia yang menganggap pendekatan formalis bertentangan dengan ajaran-ajaran Marxis. Awalnya kaum Formalis ada untuk membebaskan ilmu sastra dari pengaruh ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, sejarah, atau penelitian kebudayaan. Kaum Formalis biasanya dapat diidentifikasi sebagai gerakan otonomi, strukturalisme, dan formalisme. Sangat berkembang hingga munculnya New Criticism, yang secara umum berpendapat bahwa sastra harus berpusat pada karya itu sendiri.
Pendekatan itu terwujud dalam buku yang disebut-sebut sebagai Al-Kitab bagi ilmu sastra, "Theory of Literature" karangan Rene Wellek dan Austin Warren. Bersamaan dengan pendekatan intrinsik, close reading, dan konsep otonomi karya sastra sebagai Wereld in Woorden. Bagaimanapun juga, pendekatan ini tidak lepas dari berbagai kekurangan dan kritik. Bahkan, tidak juga menemukan jalan buntu dalam pendekatan karya sastranya. Sebagaimana kritik Culler, New Criticism dan strukturalisme yang menitikberatkan struktur karya individual justru mengabaikan hakikat sastra.
Bentuk dekonstruksi dari pendekatan strukturalisme adalah prinsip intertekstualitas. Pertama kali dikembangkan oleh peneliti Prancis Julia Kristeva. Di dalam penjelasan Culler, Kristeva mengatakan bahwa setiap teks terdiri dari mosaik kutipan-kutipan, dan setiap teks merupakan peresapan dan transformasi dari teks lain. Karya hanya dapat dibaca dalam hubungan atau pertentangan dengan teks lain, yang merupakan semacam kisi; melalui kisi, teks diberi struktur yang memungkinkan pembaca untuk menonjolkan karakteristik memetiknya dan memberikannya struktur.
Riffaterre menyatakan banyak sajak Prancis yang baru dapat dipahami sepenuhnya kalau dibaca dengan latar belakang puisi lain. Dalam penelitian sastra Indonesia tradisional, tulisan-tulisan pujangga dalam keraton merepresentasikan prinsip intertekstualitas. Misalnya Surakarta melawan Yogyakarta, Diponegoro melawan tulisan keraton resmi dan/atau sebaliknya. Mengetahui hal ini, menyenangkan rasanya menyimak satu perkembangan aliran sastra meskipun diikuti dengan pertanyaan selanjutnya. Apakah hubungan intertekstual dapat diidentifikasi secara ilmiah dan objektif, ataukah pembaca memutuskan sendiri bagaimana karya sastra berinteraksi dengan teks lain dalam prinsip intertekstual? Belum kita menentukan berbagai tipe pembaca dan tidak ada satu ketentuan yang menentukan apa itu pembaca ideal.
Aliran strukturalisme belum dikatakan gugur meskipun kita sudah mengetahui bahwa struktur karya sastra bukanlah sesuatu yang otonom dan objektif, serta digerogoti dan diserang oleh para peneliti yang menekankan peranan pembaca dalam proses interpretasi. Yang terjadi adalah, pergeseran ke arah kesubjektifan. Strukturalis seperti Roland Barthes misalnya. Ia menitikberatkan pembaca sebagai penikmat karya sastra dalam karyanya, strukturnya tidak dapat didefinisikan secara objektif.
Pergeseran minat dari struktur ke arah pembaca juga terlihat melalui sukturalis Praha, Mukarovsky dan muridnya Vodicka. Bagi mereka, karya sastra hanya dapat dihidupkan oleh pembaca yang berbeda-beda berdasarkan hubungan tempat, waktu, dan sosial mereka dengan karya tersebut. Mereka melihat karya sastra sebagai artefak yang mati, sebagai tugu.
Selain itu, ternyata ide bahwa perlu membedakan antara analisis struktural yang objektif dan interpretasi makna karya sastra yang tergantung pada pembaca tidak tepat. Dalam praktik penelitian, terbukti bahwa analisis struktural dan interpretasi karya selalu berinteraksi satu sama lain. Karena keduanya memiliki hubungan dialektik seperti antara bagian dan keseluruhan teks dan pembaca dalam konteks tertentu, interpretasi makna tidak mengikuti analisis strukturnya.
Serangan yang sengit terhadap pendekatan New Criticism terus berlanjut. Kritik ini menekankan peranan pembaca. Diwakilkan oleh A.P. Foulkes dengan bukunya The Search for Literary Meaning. Bagi Foulkes, pendekatan New Criticism tidak hanya harus ditolak dari segi teori. Tanggapan pembaca tidak ditentukan melalui struktur karyanya, tetapi situasi pembaca juga menentukan interpretasinya. Foulkes yang mengatakan pendekatan New Criticism sebagai elitis berpendapat bahwa pendekatan ini berpotensi meniadakan karya sastra sebagai kekuatan sosial, khususnya kekuatan yang dapat memberi sumbangan pada perombakan struktur sosial, dan establishment yang berkuasa.
Demikian pula melemahkan semangat manusia yang ketularan ide bahwa sastra sebagai rekaan menggantikan kenyataan, dan bahwa kenikmatan estetik lebih penting dari kegiatan sosial. Pendekatan Formalis dimanfaatkan sebagai penindasan terhadap revolusi, emansipasi wanita, orang hitam, serta sebagai serangan balik yang sadar atas kebudayaan proletar yang muncul.
Pendekatan aliran terus berkembang, hingga muncul aliran yang begitu menekankan peranan pembaca. Aliran estetik resepsi Hans Roberts Jausz. Menurutnya, keindahan karya bukanlah sesuatu yang mutlak, abadi atau tetap. Keindahan adalah pengertian yang nisbi, tergantung dari situasi sosio-budaya pembaca, dan ilmu sastra harusnya meneliti itu. Bukan keindahan langgeng Shakespeare atau Dante yang penting, melainkan resepsi karya mereka oleh pembaca pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
Referensi:
- Teeuw, A. (2017). Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya.
- Wellek, R., & Warren, A. (2016). Ilmu Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muhammad Fariz Akbar lahir pada tanggal 5 September 2004 di Bekasi. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2022. Ia suka membayangkan temannya adalah Jean-Paul Sartre.