Salah satu masalah kronis yang sulit dihilangkan meskipun berbagai macam kurikulum di Indonesia telah diterapkan adalah masalah mengenai kekerasan di sekolah. Berbagai macam bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan gender, dan kekerasan psikis telah mampir di sekolah-sekolah; terjadi antar warga sekolah.
Saking banyaknya kasus tersebut terjadi, kekerasan menjadi hal yang biasa terlihat dan dianggap wajar sebagai cara yang tepat untuk "mendidik" seseorang. Lantas, siapa yang bertanggung jawab atas hal tersebut?
Kurikulum Merdeka sendiri telah menerapkan pembelajaran khusus tentang pentingnya moral yang terangkum dalam sistem pendidikan karakter. Permendikbud, dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003-nya menyebut bahwa Sistem Pendidikan Nasional harus memiliki nilai-nilai pendidikan karakter yang meliputi nilai nasionalis, nilai religius, nilai integritas, nilai mandiri, dan nilai gotong royong.
Kemendiknas pada 2010 bahkan telah mengembangkan lima nilai dasar tersebut menjadi delapan belas nilai-nilai pendidikan karakter baru yang diharapkan mampu menjadikan peserta didik di Indonesia bermoral dan beradab.
Kemudian, tertuang dalam sebuah Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemendikbud Tahun 2020-2024, enam nilai karakter sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila, yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, gotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.
Bertolakbelakang dengan harapan pemerintah, fakta di kehidupan bermasyarakat berkata lain. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis laporan dalam laman nya mengenai hasil survei International Center for Research on Women (ICRW) yang menyebut bahwa 84 persen anak sekolah di Indonesia mengalami kekerasan. Telah ada sebanyak 4.683 laporan kasus kekerasan diterima KPAI pada tahun 2022 dan 2.235 laporan telah masuk per Agustus 2023. Itu hanya sejumlah kasus yang dilaporkan, belum meliputi kasus-kasus serupa yang terjadi dan diabaikan, dilupakan oleh masyakarat, serta mengendap selayaknya gunung es.
Banyaknya kasus kekerasan di sekolah membuktikan bahwa pendidikan karakter yang diterapkan belum mampu memberikan indikasi peningkatan kualitas moral maupun perbaikan moral di Indonesia.
Tentunya, kasus ini tidak hanya sekadar menyeret dua pihak, yakni pihak yang menjadi korban maupun pelaku, tetapi juga lembaga pendidikan tempat terselenggaranya proses pendidikan, orang terdekat pelaku dan korban, serta kepala sekolah dan jajaran guru terkait.
Setiap pihak memiliki perannya masing-masing untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan yang menimbulkan berbagai dampak negatif bagi korban maupun bagi keluarga korban, terutama kepala sekolah yang bertanggung jawab dalam mengawal pengimplementasian pendidikan karakter di sekolah.
Metode Humanistik
Kekerasan, nyatanya, masih dianggap sebagai bentuk "pemberian pelajaran" yang ampuh untuk siswa. Jika dipahami secara lebih lanjut, tahap-tahap tersebut berjalan membentuk alur: pemaksaan - penolakan - pemberian ancaman - muncul rasa takut - peningkatan intensitas ancaman - kekerasan - ketidakberdayaan - kepatuhan.
Tidak semua kasus kekerasan memiliki alur tersebut, tetapi pada dasarnya, kasus kekerasan dan penganiayaan didasarkan pada keinginan seseorang untuk mengontrol dan "menguasai" tindakan dan pemikiran orang lain.
Sikap tunduk yang muncul akibat tindak kekerasan bukanlah sikap menghargai, melainkan karena perasaan takut dan khawatir. Selayaknya obat yang bekerja untuk sekadar meredakan, tetapi tidak mampu memperbaiki sel-sel yang rusak. Titik pusat permasalahan akan menjalar dan memperburuk keadaan seiring waktu berjalan.
Tindakan memukul, mencubit, menjewer, dan perilaku kekerasan yang lain dianggap wajar bagi anak-anak generasi milenial. Namun, bagi generasi Z, Alpha, dan generasi selanjutnya, metode hukuman tersebut tidak dapat diterapkan begitu saja.
Terdapat perbedaan individual, budaya, dan lingkungan yang berpengaruh besar terhadap bagaimana cara mendidik siswa. Setiap individu siswa saja memiliki perbedaan mencolok, apalagi perbedaan yang lebih mencolok antara dua generasi berbeda.
Akan lebih baik jika kata 'hukuman' diganti dengan 'pendisiplinan'. Begitu pula metode yang digunakan, alangkah baiknya jika pemberian hukuman yang tidak berguna dihapuskan dan diganti dengan kegiatan yang lebih bermakna.
Seperti misalnya, dibandingkan menyuruh siswa menuliskan kalimat penyesalan tertentu di kertas dalam puluhan bahkan ratusan kali, guru dapat meminta siswa membantu pekerjaan pustakawan untuk merapikan buku-buku di perpustakaan atau meminta siswa membaca Al-Quran dan menunaikan Salat Sunah apabila siswa tersebut beragama Islam.
Tindakan tersebut memang hanyalah sebuah hal kecil, tetapi lama kelamaan akan membentuk karakter baik, yang jika diteruskan akan menciptakan kebiasaan yang bermanfaat yang mengarahkan pada arah pendidikan lebih baik.
Wacana tersebut tidak hanya harus dilakukan oleh tenaga pendidik di sekolah, melainkan juga orang tua atau wali siswa di rumah. Mengapa demikian? Kewajiban sekolah adalah memberikan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan tertentu kepada siswa di samping memperbaiki moral.
Pembentuk utama karakter siswa adalah keluarga dan lingkungan. Oleh karena itu, salah jika orang tua berpikir bahwa sistem pendidikan karakter Kurikulum Merdeka hanya berkaitan antara guru dan siswa karena di belakang sistem tersebut, orang tua memiliki peran yang tidak kalah besar dalam membantu pencapaian target Kurikulum Merdeka.
Biodata Penulis:
Dely Lutfia Ananda merupakan mahasiswi Tadris Matematika UIN Abdurrahman Wahid Pekalongan. Perempuan (kelahiran Pekalongan, November 2005) ini hobi membaca cerpen dan menggambar.