Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Pertama Kali ke Store Elit, Diskriminasi?

Salah satu contoh diskriminasi di kehidupan sehari-hari, seperti menilai pengunjung dari penampilannya, terutama ketika mereka datang ke suatu ...

Oleh Destri Ainurisma

Pernahkah kalian melihat tindak diskriminasi secara tidak langsung di kehidupan sehari-hari? Ya, tindak diskriminasi, pembedaan perlakuan terhadap sesama dari segi golongan ekonomi, warna kulit, agama, suku, dan sebagainya.

Salah satu contoh diskriminasi di kehidupan sehari-hari, seperti menilai pengunjung dari penampilannya, terutama ketika mereka datang ke suatu tempat atau acara tertentu. Tindakan seperti itu, adalah tindakan yang bisa menimbulkan berbagai masalah.

Selain itu, pengunjung yang tidak nyaman karena merasa terdiskriminasi dapat menggambarkan dampak negatif dari diskriminasi di berbagai konteks, misalnya trauma.

Aku adalah seseorang yang lahir dan besar di desa, walau desaku berada di tengah kota, hal tersebut tidak menampik bahwa aku belum merasakan yang namanya berkunjung ke suatu mall besar.

Suatu hari aku dan keluargaku berkunjung di sebuah kota berencana untuk berlibur, mumpung orang tuaku sedang ada rezeki. Setelah mengunjungi beberapa destinasi, entah dari mana ide itu berasal, aku berkata ingin mencoba untuk mengunjungi mall di kota itu.

Awalnya aku sangat bergembira karena akhirnya dapat merasakan apa yang dirasa teman-temanku, tetapi hal tersebut berubah ketika hal yang menurutku kurang mengenakkan terjadi.

Pertama Kali ke Store Elit, Diskriminasi
Sumber gambar: Psbhfhunila.org

Cerita ini berawal dari, saat melewati pintu mall yang megah dan besar aku langsung dibuat terkesan. Aku langsung saja menarik ayah dan ibuku untuk masuk, mereka pun tak kalah kagum. Kami pun memutuskan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu, melihat-lihat apa yang bisa kami lihat, mungkin juga mampu kami beli.

Kebetulan aku adalah seorang pecinta seni, ketika aku melihat salah satu outlet yang menjual tentang seni aku sangat bersemangat, orang tuaku yang paham akan hal itu langsung saja mengajakku masuk.

Aku dan orang tuaku berniat ingin melihat-lihat isi dari outlet tersebut, kami pun ada keinginan untuk membelinya sebagai kenang-kenangan. Namun, saat aku tiba, resepsionis dari outlet tersebut melihat penampilan kami yang sederhana dan santai, dengan pakaian yang tidak sefancy seperti beberapa pengunjung lainnya.

Awalnya kami tidak menyadarinya, karena resepsionis tersebut menampilkan senyuman. Namun, kami menyadari senyuman yang ditujukan pada kami mulai luntur, saat ada pengunjung lain dengan penampilan mewah nan glamour datang.

Resepsionis tersebut mungkin menganggap bahwa kami bukan calon pembeli potensial, oleh karena itu dia mendatangi pengunjung lain dan meninggalkan kami.

Tak berhenti sampai di situ, saat dia akan meninggalkan kami, dia meminta salah satu temannya untuk menemani kami, bahkan dia berbicara dengan tidak ramahnya mengatakan bahwa kami tidak tahu bagaimana caranya untuk membeli.

Dia bahkan tidak memberikan informasi tentang pameran seni atau memberikan panduan kepada kami. Sebaliknya, resepsionis itu lebih memilih untuk melayani pengunjung yang terlihat lebih "kaya" atau lebih "trendi."

Kami pun merasa sangat terhina dan diabaikan. Padahal, aku memiliki pengetahuan tentang seni dan memiliki minat untuk membeli karya seni jika diberikan kesempatan. Penilaian berdasarkan penampilan oleh resepsionis telah menghalangi pengalaman positifku di mall tersebut.

Namun, walau begitu, karyawan yang menggantikan resepsionis tersebut, sangat berbeda darinya. Dia tidak menilai kami seperti yang dilakukan karyawan sebelumnya, dia bahkan mendeskripsikan beberapa seni yang ada di dalam outlet tersebut.

Dia juga menyarankan kami untuk membeli lukisan yang sangat pas untuk dipajang di rumah kami. Saking ramahnya karyawan tersebut, juga kami yang merasa nyaman dengan perlakuan darinya, kami sampai bertukar nomor.

Setelah selesai berbelanja, kami pun memutuskan untuk pulang. Namun, saat ingin pulang kami diberikan secarik kertas untuk menuliskan kesan dan pesan baik dari segi tatanan outlet, hingga pelayanan yang diberikan.

Kami pun mengisi sesuai dengan apa yang terjadi dan kami rasakan, bukan maksud ingin membalas dendam, tetapi jika hal tersebut sering terjadi maka akan menimbulkan konflik, terutama citra atau nama baik dari merek atau nama dagang outlet tersebut.

Beberapa hari kemudian, kami dihubungi oleh karyawan ramah yang menangani kami saat itu bahwa resepsionis tersebut diberikan surat peringatan, dikarenakan ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi kepada kami, melainkan beberapa pengunjung yang datang juga di outlet tersebut.

Bahkan beberapa pengunjung dengan penampilan trendi yang ditangani oleh resepsionis tersebut juga mengaku akan ketidaknyamanan perlakuan resepsionis tersebut. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya penjualan dari outlet tersebut.

Penilaian karyawan terhadap pengunjung dapat menjadi bagian penting dari evaluasi kinerja dalam berbagai jenis pekerjaan, terutama di sektor layanan, perhotelan, restoran, dan sektor-sektor yang berinteraksi langsung dengan pelanggan atau pengunjung.

Penilaian ini dapat membantu perusahaan dalam memahami sejauh mana karyawan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada pengunjung.

Cerita ini menyoroti pentingnya tidak menilai seseorang berdasarkan penampilannya, terutama di lingkungan umum seperti museum atau tempat umum lainnya.

Hal tersebut sama saja dengan kita melakukan diskriminasi, bahkan orang dapat menganggap hal tersebut sebagai sebuah pembullyan. Semua orang pantas diperlakukan dengan hormat dan kesempatan yang sama, terlepas dari penampilan mereka.

Biodata Penulis:

Destri Ainurisma lahir pada 19 Desember 2004 di Pati. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

© Sepenuhnya. All rights reserved.