Puisi: Pohon Belimbing di Depan Pendapa (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Pohon Belimbing di Depan Pendapa" karya Gunoto Saparie menggambarkan nilai-nilai tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pohon Belimbing di Depan Pendapa


pohon belimbing di depan pendapa
barangkali terlalu tua untuk bertahan
konon kakek yang dulu menanamnya
untuk buah hati, anak cucu keturunan

kuingat pesan ayah suatu malam
janganlah memanjat pohon itu
dahannya licin, basah, dan beku
ada dongeng purba tentang sang penunggu

aku diam membisu mendengarnya
namun tak bisa tidur sampai subuh
aku ingat sorot mata mengerikan, tajam bercahaya 
aku pun tiba-tiba meriang, demam di seluruh tubuh


Semarang, 25 Maret 2023

Analisis Puisi:
Puisi "Pohon Belimbing di Depan Pendapa" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya sastra yang memadukan elemen alam, tradisi, dan ketakutan. Puisi ini menggambarkan gambaran pohon belimbing yang berdiri di depan pendapa, dan dengan menggunakan bahasa yang kuat, penyair menciptakan atmosfer yang misterius dan menegangkan.

Pohon Belimbing sebagai Sentral: Puisi ini berfokus pada pohon belimbing yang menjadi titik pusatnya. Pohon ini menjadi simbol tradisi, warisan keluarga, dan ketakutan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Tua dan Rentan: Pohon belimbing digambarkan sebagai "terlalu tua untuk bertahan," menciptakan perasaan bahwa pohon ini adalah lambang ketidakmampuan atau kerentanan. Meskipun begitu, pohon ini juga menjadi simbol ketahanan dan keabadian, mengingat kakek yang dulu menanamnya untuk keturunannya.

Tradisi Turun Temurun: Puisi ini menggambarkan nilai-nilai tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Pohon belimbing menjadi simbol penghubung antara masa lalu, sekarang, dan masa depan. Konsep ini menggambarkan pentingnya menjaga warisan budaya dan keluarga.

Peringatan Ayah: Penyair mengingat pesan ayahnya tentang tidak boleh memanjat pohon belimbing. Pesan ini menciptakan rasa misteri dan ketegangan dalam puisi, karena ayah tampaknya tahu tentang "sang penunggu" yang menakutkan yang terkait dengan pohon tersebut.

Misteri dan Ketakutan: Puisi ini menciptakan atmosfer misterius dan menegangkan. Sang penunggu dan bahaya yang ada di dalam pohon belimbing menciptakan nuansa ketakutan yang menggugah perasaan pembaca.

Reaksi Penyair: Penyair menggambarkan reaksi pribadinya terhadap pesan ayah dan ketakutannya. Dia diam dan membisu, tetapi ketidakmampuannya untuk tidur sampai subuh menciptakan gambaran kegelisahan dan rasa takut yang mendalam.

Gaya Bahasa dan Imaji: Penyair menggunakan bahasa yang kaya dan gambaran yang kuat untuk menyampaikan pesan puisi. Penggunaan kata-kata seperti "sorot mata mengerikan" dan "tajam bercahaya" menciptakan citra yang kuat dalam pikiran pembaca.

Puisi "Pohon Belimbing di Depan Pendapa" karya Gunoto Saparie adalah karya sastra yang memikat dan menegangkan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna tradisi, ketakutan, dan warisan budaya. Pohon belimbing menjadi simbol yang kuat dalam menceritakan kisah tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta konsekuensi dari memutuskan untuk mengabaikan atau menghormati tradisi. Ini adalah contoh karya sastra yang memadukan unsur misteri dan nostalgia dengan bahasa yang indah.

Gunoto Saparie
Puisi: Pohon Belimbing di Depan Pendapa
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.