Pada Hari Senin Pagi
Ketika Matahari Rohani Terbit
pada hari senin pagi ketika matahari rohani terbit
aku memandang ke belakang tahun-tahun umurku
memasuki dunia nilai aku kehampaan
pertanyaan-pertanyaan tumbuh tak mau dibiarkan
dengan selembar ijazah smp tak kuizinkan diri miskin!
aku pun kembali lahir menjelma jadi semula yang bebas
menatap belenggu yang harus diberi arti
aku melayang tetapi tak kubiarkan melarikan diri ke angan
apalagi mendirikan rumah dan buta didalamnya
aku di sini ya
aku di sini
di bumi masalah hidup yang berbondong-bondong datang
memeluk
lantas
pergi
aku bukan sekedar darah dan daging yang harus mati
setelah kenyang makan seperti binatang
aku bukan sekedar darah dan daging menadah jatah
tak kuizinkan terus-terusan nasipku digolekkan oleh khilafku
maka hari ini adalah tatah niscaya mengukir wajah
pada hari senin pagi ketika matahari rohani yang panas menyengat
aku bagai suling mengusik telingaku sendiri
bung! ayo bikin nyanyian sebelum mampus
ayo bikin nyanyian tanda syukur kepada hidup
pada hari senin pagi pintu rohaniku digedor sang tatah
ayo! tatah hari selasamu pahat minggu-minggumu
bulan-bulanmu umur tahun-tahunmu
biar yang belenggu jadi kekasih hati.
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Pada Hari Senin Pagi Ketika Matahari Rohani Terbit" karya Wiji Thukul adalah sebuah refleksi yang mendalam mengenai eksistensi manusia, perjuangan, dan arti hidup. Dalam puisi ini, penulis mengeksplorasi konsep keprihatinan, pertumbuhan, perubahan, dan harapan dalam konteks perjalanan hidup.
Refleksi pada Perjalanan Hidup: Puisi ini dimulai dengan penuturan tentang hari Senin pagi ketika matahari rohani terbit. Hal ini menciptakan suasana awal yang merujuk pada awal pekan, awal dari satu periode baru dalam hidup. Penulis mencerminkan tahun-tahun umurnya yang telah berlalu dan perjalanan hidupnya hingga saat ini.
Perubahan dan Pertanyaan: Penulis mengungkapkan rasa ketidakpuasannya terhadap dunia nilai dan kehampaan. Puisi ini menyoroti pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri penulis, pertanyaan yang menuntunnya untuk mencari arti yang lebih dalam dalam kehidupan. Perubahan merupakan tema sentral dalam puisi ini, dengan penekanan pada transformasi dan perubahan yang terjadi dalam perjalanan hidup.
Makna Hidup dan Pemberontakan: Penulis menyuarakan keinginannya untuk tidak membiarkan nasibnya tergantung pada khilaf atau kesalahan. Puisi ini mencerminkan semangat pemberontakan dan penentangan terhadap keterbatasan dan hambatan yang ditemui dalam hidup. Ada semangat yang kuat untuk mengubah nasib dan mengukir makna hidup sendiri.
Pemberian Arti pada Hidup: Puisi ini menggambarkan semangat untuk memberikan arti pada hidup, tidak hanya menjadi sekedar "darah dan daging" yang hidup seperti binatang. Penulis mengekspresikan keinginannya untuk menciptakan nyanyian dan tanda syukur terhadap hidup, meskipun dalam kondisi yang sulit. Penulis memahami bahwa hidup memiliki nilai yang lebih dalam dan mampu menciptakan makna dalam setiap aspeknya.
Simbolisme Matahari Rohani: Matahari rohani yang terbit menjadi simbol transformasi spiritual dan pencerahan. Ini mencerminkan perubahan dalam sudut pandang, pengetahuan, dan persepsi penulis terhadap hidup dan artinya. Matahari rohani juga dapat diartikan sebagai semangat pemberontakan yang mendorong penulis untuk terus berjuang dan mencari makna.
Puisi "Pada Hari Senin Pagi Ketika Matahari Rohani Terbit" adalah refleksi dalam bentuk puisi yang menggambarkan pertumbuhan, perubahan, dan perjuangan manusia dalam menjalani hidup. Melalui pengungkapan perasaan dan gagasan yang dalam, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan arti hidup, pemberontakan, dan semangat mengukir makna dalam setiap perjalanan.
Karya: Wiji Thukul
Biodata Wiji Thukul:
- Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
- Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
- Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).