Analisis Puisi:
Puisi “Ranting” karya Gunoto Saparie merupakan karya pendek yang kaya makna. Meski sederhana dalam pilihan kata, puisi ini menghadirkan simbolisme kuat tentang kehidupan, nasib, dan tanda-tanda alam yang sering diabaikan manusia.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kehidupan dan isyarat nasib. Ranting yang patah dan tergeletak di jalan seolah menjadi simbol kehidupan yang rapuh, rentan, dan bisa hancur kapan saja.
Puisi ini bercerita tentang sebuah ranting yang jatuh dan patah, ditiup angin, lalu tergeletak di jalan maupun di pinggirnya. Namun, di balik kesederhanaan kisah itu, terdapat makna mendalam: ranting adalah lambang manusia atau perjalanan hidup yang bisa terhempas oleh kekuatan tak terlihat (nasib, waktu, atau keadaan).
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kehidupan penuh ketidakpastian. Ranting yang patah bisa dimaknai sebagai manusia yang kehilangan arah, tersisih, atau tidak berdaya menghadapi nasib. Ada pula nuansa tentang kesepian dan keterasingan, di mana ranting menjadi metafora kondisi manusia yang kadang merasa asing di tengah hiruk-pikuk kehidupan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah hening, sepi, sekaligus melankolis. Gambaran ranting yang jatuh di jalan ditemani bayangan bulan dan dingin yang membeku di pinggir jalan menciptakan atmosfer sunyi yang penuh renungan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan dari puisi ini adalah bahwa hidup harus dimaknai meski rapuh dan singkat. Seperti ranting yang jatuh, kehidupan manusia juga sementara. Kita diajak untuk lebih peka membaca tanda-tanda kehidupan dan menghargai setiap momen sebelum terlambat.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual dan imaji perasaan.
- Imaji visual tampak pada “patahan ranting jatuh di tengah jalan” dan “bulan menghamparkan bayang”.
- Imaji perasaan muncul melalui kesan beku, asing, dan kabur yang ditinggalkan potongan ranting itu.
Majas
Beberapa majas yang muncul antara lain:
- Personifikasi: “bulan menghamparkan bayang” memberi sifat manusia pada bulan.
- Metafora: ranting sebagai lambang kehidupan, kesendirian, atau nasib manusia.
- Simbolisme: ranting patah adalah tanda kerentanan, sekaligus lambang perjalanan hidup yang rapuh.
Puisi "Ranting" karya Gunoto Saparie membuktikan bahwa keindahan puisi tidak selalu harus panjang. Dengan simbol sederhana berupa ranting, penyair berhasil membuka ruang tafsir luas tentang kehidupan, nasib, dan keasingan manusia. Ia menghadirkan suasana sunyi yang penuh perenungan, mengajak pembaca untuk memahami bahwa kehidupan bisa seketika rapuh, namun tetap menyisakan makna yang mendalam.
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.
Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
