Puisi: Debur Lautan (Karya Gunoto Saparie)

Puisi | Debur Lautan | Karya | Gunoto Saparie |
Debur Lautan


debur lautan adalah kegelisahan
membekaskan jejak di pasir pantai
hibuk suara kalbu di tengah hujan
kepada siapa lagi tangan ini menggapai


2022

Analisis Puisi:
Puisi "Debur Lautan" karya Gunoto Saparie memperlihatkan penggambaran kegelisahan manusia dan hubungannya dengan alam. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang eksistensi manusia di tengah-tengah kebesaran dan ketakberdayaan alam semesta.

Puisi ini dimulai dengan gambaran "debur lautan" yang menjadi simbol dari kegelisahan. Debur lautan tidak hanya menandakan suara ombak yang memecah di pantai, tetapi juga melambangkan kegelisahan yang menggoreskan jejak di pasir pantai. Hal ini dapat diartikan bahwa kegelisahan manusia meninggalkan bekas atau pengaruh dalam perjalanan hidupnya.

Dalam suasana hujan, suara hembusan angin dan derap tetesan air hujan menghadirkan kehadiran kalbu yang memancarkan hibuk suaranya. Puisi ini menggambarkan betapa manusia, di tengah ketidakpastian dan kegelisahan, mencari keberadaan dan merenungkan tentang tujuan hidupnya. Hujan sebagai elemen alam yang penuh dengan kekuatan dan kemisteriusan memberikan latar belakang yang memperkuat ekspresi kegelisahan dan pencarian makna dalam puisi ini.

Di akhir bait puisi, ada kalimat yang memberikan pertanyaan introspektif, "kepada siapa lagi tangan ini menggapai?" Pertanyaan ini mencerminkan rasa penasaran dan kebutuhan manusia untuk menemukan arti dan tujuan hidupnya. Tangan manusia yang mencoba menggapai sesuatu, pada akhirnya menunjukkan kerinduan untuk menemukan kedamaian dan kebermaknaan yang mungkin hanya dapat ditemukan di alam semesta.

Puisi "Debur Lautan" menghadirkan kontras antara kegelisahan manusia dan kebesaran alam. Meskipun manusia kecil dan rentan di hadapan kekuatan alam, tetapi kegelisahan yang ada dalam diri manusia memiliki kekuatan untuk meninggalkan bekas dan mencari arti dalam kehidupannya. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang kedalaman emosi manusia dan hubungannya dengan alam yang mencerminkan kebesaran dan kekuatan yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Melalui pemilihan kata dan bahasa yang mendalam, Gunoto Saparie mengajak kita untuk menyadari kegelisahan manusia yang tetap ada di tengah-tengah alam semesta yang luas dan tak terbatas. Puisi "Debur Lautan" mengingatkan kita untuk lebih menghargai dan memahami hubungan kita dengan alam serta menjalani hidup dengan rasa ingin tahu, penghayatan, dan keberanian dalam menghadapi ketidakpastian.

Gunoto Saparie
Puisi: Debur Lautan
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Bulan di Atas Bukit ada bulan keemasan bergetar di atas bukit kelabu itu ligar bagai bunga mawar keheningan pun mengambang bisu aku kini tahu, ini kemarau dan hampir ten…
  • Pagi tanpa Jadwaludara subuh mendinginbenarkah ini hampir pagi?angin berembus pelahanburung-burung pun mulai nyanyidedaunan berlinangan embunperdesaan sepi, mungkin bekudan tidak a…
  • Sajak Kaburdalam kamar inilirik dan lagu pun lahir dari kesepiandi langit-langit bergantungan sunyiada bayangan mengeras di penanggalanangin pun mendesis di luarudara terasa dingin…
  • Nina Bobotidurlah, tidur, di ranjang impianmalam pun larut dan di langit tiada bintanghanya angin gelisah mendesah di dedaunanhanya gerimis terus berjatuhan, sayang tidurlah, …
  • Sinta Obong benarkah rama belahan hidupku dengan cinta tanpa batas padaku? aku tak tahu, tak mampu bertanya karena api telah berkobar menyala benarkah kesetiaan tak lagi …
  • Mimpimimpi mungkin sebuah harapanmimpi mungkin sebuah jendela2023Puisi: MimpiKarya: Gunoto SaparieBiodata Gunoto Saparie:Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 D…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.