Puisi: Pebila? (Karya Rustam Effendi)

Puisi | Pebila? | Karya | Rustam Effendi |
Pebila?

Malam yang kelam, seperti lautan hitam
menyanam antara graniet hari, yang silang berganti.
Di tengah kelam di sela batu berani ini,
berlayar betaraku, berjurumudi pun haram.

Ombak berjompak, di tengah gelombang hidup sengsara.
Sepelang bintang haram yang tampak tergelak.
Hatiku sunyi, sedikit tidak berani bergerak
berlayar bertujuan, menurut pulau yang sayup.

Sungguhpun hatiku tiada berdegap,
tidak terdengar darah berombak,
tetapi terasa oléh kalbuku.
Kekurangan béta angin yang sedap,
akan pembujuk pengobat rusak.
Pebila, di mana, kau beri tanganmu.

Pebila béta diulur tangan?
Bukan tangan yang memeluk béta
seperti dipegang tangan marmaran,
tetapi tangan yang menggenggam cinta.

Tangan yang sejuk, yang nyaman nyilu,
Tangan pemimpin béta ke kubur,
dalam menuju Merdéka tanahku.
Kukorbankan nyawa na' sama lebur.

Béta merindu jari yang lembut,
yang dapat mengusai pikiran kusut,
yang menanai béta kesawang suci.
Bukanlah merindu tangan yang halus,
menggilai senyum simpul yang bagus,
makanya menanti bersunyi ini.

Sumber: Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan (2013)
Catatan:
marmaran = batumarmar.

Analisis Puisi:

Beberapa hal yang menarik dari puisi "Pebila" karya Rustam Effendi adalah:
  1. Gambaran Malam yang Kelam: Puisi ini dimulai dengan gambaran malam yang kelam, seperti lautan hitam. Gambaran ini menciptakan suasana yang misterius dan gelap, yang kemudian melambangkan perjalanan hidup yang penuh dengan tantangan dan kesulitan.
  2. Penggunaan Bahasa Puitis: Puisi ini menggunakan bahasa yang puitis dan kaya akan metafora. Contohnya, penggunaan "graniet hari" untuk menggambarkan keberlanjutan waktu dan perubahan yang tak terelakkan, serta penggunaan "ombak berjompak" untuk menggambarkan kehidupan yang penuh dengan penderitaan.
  3. Rasa Rindu dan Penantian: Puisi ini mengungkapkan rasa rindu dan penantian penyair terhadap sosok yang diidamkan. Penyair merindukan jari yang lembut dan tangan yang dapat mengusai pikiran yang kusut. Ada perasaan yang kuat dalam menanti kedatangan sosok yang diharapkan.
Puisi "Pebila" karya Rustam Effendi menciptakan gambaran malam yang kelam dan melambangkan perjalanan hidup yang penuh dengan kesulitan. Penggunaan bahasa yang puitis, gambaran metaforis, dan perasaan rindu yang kuat membuat puisi ini menarik untuk dinikmati dan memunculkan pemahaman mendalam tentang tema yang diungkapkan.

Rustam Effendi
Puisi: Pebila?
Karya: Rustam Effendi

Biodata Roestam Effendi:
  • Rustam Effendi lahir pada tanggal 13 Mei 1903 di Padang, Sumatra Barat.
  • Rustam Effendi meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1979 (pada usia 76) di Jakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Mengeluh (1) Bukanlah béta berpijak bunga, melalui hidup menuju makam. Setiap saat disimbur sukar bermandi darah, dicucurkan dendam. Menangis mata melihat makhluk, berharta…
  • Mencahari Bersalut ratna diselang emas berhari-hari,     Itulah kalung perjalanan hidupku; membenturkan kesenangan cahaya nubari.     Tiadalah pernah dige…
  • Alam Alam!!! Alangkah sebatnya suara ini, dikeluhkan nyawa, kalbu nurani, yang tengah berkhali menanti Zaman. Alam, penuh oléh duri dustaan, diliputi dosa, keganasan nafsu,…
  • Lautan Terdengar derai ombak, bercerai, Terhampar ke pantai, sorai terurai. Mengaum deram, derum lautan, Walaupun di dalam malam yang kelam. Terbentang muka, …
  • Tanah Air O, tanah airku, yang éndah sangat, Berpandang katifah hijau, berlembah, bekasan danau, berlangit bertudung awan, bergunung berbukit, berpantai lautan. O, tanah…
  • Menangis Alangkah benciku mendengar tangis kalau menangis karena sakit. Alangkah marahku mendengar tangis, kalau orang disinggung barit. Amarah hatiku mendeng…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.