Laut Tak Biru di Seberang Takir
ganas gelora laut china, keras pawana ujung
disember, lemas dada tanah seberang berebut-
rebut menggelinchir ke dalam mataku yang che-
mas. ya, tak siapa dengar engkau dan anakbini-
mu: siangmalam ditampar ombak puaka, lantas
dilarikan ribut laknat. saudara, tiapkali gema
jeritmu menerawang angkasa seberang, kusambut
ia dengan airmata kian menderas
lesu perahu tertambat di pantai ungu, kutau,
lesu lagi jiwamu terikat dirantai pilu. lang-
kahmu yang lambat dan gontai kini kulihat
sudah. ya, tak siapa hirau engkau dan nasibmu:
pagipetang dilontar ke punchak derita, lantas
terkapar di pasir puchat. pelaut, tiapkali tem-
pik lolongmu menerajang udara seberang, ku-
sambut ia dengan dada kian tenat.
laut tak biru lagi di seberang takir, ikan-ikan
sudah jemu bermain di pesisirnya dan engkau
tenggelam di dalam hibarayamu. suaramu yang
resahsayu kini direnggut ribut. ya, tak siapa
peduli suara itu: terus menerus diperkosa
angin jahat. saudara dan para pelaut, seluruh
airmata, sedansedu dan resahgelisahmu kini
kuukur ia tiap inchinya.
1969
Sumber: Laut Tak Biru di Seberang Takir (1972)
Analisis Puisi:
T. Alias Taib, seorang penyair yang berbakat, melalui puisinya yang berjudul "Laut Tak Biru di Seberang Takir" membawa kita dalam perjalanan emosional di tengah keganasan dan kekerasan alam. Puisi ini memadukan gambaran laut yang dahsyat dengan perenungan akan kehidupan yang sulit di seberang Takir.
Dalam bait-bait pertama, penyair dengan lirik yang menggugah, menggambarkan gemuruh ombak di Laut China yang memukul pantai Takir dengan ganasnya. Ia melukiskan perjuangan keras tanah seberang dalam menghadapi gelombang yang mengamuk, seolah-olah ingin merebut segala yang ada. Namun, penyair juga menyadari bahwa keadaan tersebut sering kali diabaikan oleh dunia. Tak ada yang mendengar jerit dan tangis mereka yang terusik oleh ombak yang mengamuk.
Dalam bait-bait berikutnya, penyair merenungkan nasib para pelaut dan perahu yang terikat dalam kelesuan. Ia menggambarkan langkah mereka yang lambat dan lesu, seakan-akan jiwa mereka terbelenggu oleh beban pilu. Meskipun mereka melintasi gelombang yang ganas, tak ada yang memperhatikan dan peduli dengan nasib mereka. Setiap kali terdengar suara mereka yang memecah keheningan, penyair menyambutnya dengan hati yang semakin terhimpit oleh derasnya air mata.
Dalam bait terakhir, penyair menggambarkan kehilangan dan kehampaan yang dirasakan di seberang Takir. Laut yang dulu berkilauan tak lagi memancarkan kebiruan yang indah, ikan-ikan pun jemu bermain di pesisirnya. Penyair menggambarkan perasaan gelisah dan resah pelaut yang terus merajang udara, namun suara mereka terus diperkosa oleh angin jahat. Dalam kesedihan ini, penyair merangkul saudara dan para pelaut dengan segala airmata, sedih-sedih, dan kegelisahan mereka yang diukur setiap inci.
Puisi "Laut Tak Biru di Seberang Takir" oleh T. Alias Taib menghadirkan gambaran yang kuat dan menggelora tentang perjuangan manusia di hadapan alam yang tak kenal ampun. Melalui penggunaan bahasa yang puitis dan metafora yang kuat, penyair mengungkapkan rasa kehilangan, kehampaan, dan ketidakpedulian yang menghantui mereka di seberang Takir. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang ketidaksempurnaan manusia dan ketidakberdayaan kita di hadapan kekuatan alam yang maha dahsyat.
Karya: T. Alias Taib
Biodata T. Alias Taib:
- T. Alias Taib lahir pada tanggal 20 Februari 1943 di Kuala Terengganu, Malaysia. Ia mulai menulis puisi dan cerpen pada tahun 1960.
- T. Alias Taib meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 2004 di Kuala Lumpur, Malaysia.