Curam
Curam
dihimpit detik
di sepanjang jalan berbelit
jalan sempit diapit bukit
lalang dan puncak paku antara kehijauan
menunggu
lalu
konvoi
wu wuwu wuwuwu
u-u-u-u-u-u-u-u-u-u-u-u-u-u-u-u-u
menunggu kepala-kepala
mencabut kepala-kepala.
seram meniti curam
sepi meniti-niti
menanti kata-
serang!
tret-tet-ter
tet-tet-tet
trettttttt
"allah
ooooo
aaaaa
agghh"
lalang gemetar diserang angin
pucuk paku patah dibelasah waktu
tersandar derita
terlantar alpa
ber ge
lim pang
an
enam belas kepala
di kiri kanan jalan raya.
curam suram
seram meniti curam
ruang terbuka.
Thailand, 1973
Sumber: Horison (Desember, 1990)
Analisis Puisi:
Puisi “Curam” karya Abdul Ghafar Ibrahim adalah karya yang memadukan kekuatan citraan alam dengan suasana tegang dan mencekam, seperti potret fragmen sejarah atau memori pertempuran di medan berbahaya. Dengan teknik tipografi dan permainan bunyi, puisi ini menciptakan efek visual dan auditif yang memperkuat pengalaman pembaca.
Tema
Tema utama puisi ini adalah ketegangan, bahaya, dan kekerasan di medan pertempuran. Latar “curam” dan “jalan sempit diapit bukit” memberi kesan strategis namun rawan, yang menjadi arena peristiwa tragis.
Puisi ini bercerita tentang sebuah suasana di medan berbahaya—mungkin penyergapan atau baku tembak di jalur pegunungan yang curam. Awalnya digambarkan ketegangan sebelum serangan: jalan yang berbelit, sempit, dan diapit bukit dengan lalang dan pucuk paku menunggu. Lalu muncul konvoi, diiringi tiruan bunyi sirene atau tembakan (“wu wuwu wuwuwu” dan “tet-tet-tet”), diakhiri jeritan dan kematian. Gambaran “enam belas kepala di kiri kanan jalan raya” memberi kesan korban jiwa yang berserakan di medan tersebut.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah perang dan kekerasan selalu meninggalkan luka, ketakutan, dan kehilangan yang sunyi. “Curam” menjadi simbol medan sulit yang penuh ancaman, baik secara fisik maupun batin. Selain itu, puisi ini bisa dibaca sebagai peringatan bahwa peperangan hanya meninggalkan kehancuran dan penderitaan bagi semua pihak.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini tegang, mencekam, dan suram. Ada rasa menunggu sesuatu yang buruk terjadi, lalu ledakan kekerasan, dan akhirnya keheningan tragis yang menyisakan kematian.
Amanat / pesan yang disampaikan
Pesan yang dapat diambil adalah bahwa kekerasan dan peperangan hanya akan memakan korban dan meninggalkan kesedihan. Tidak ada kemenangan sejati yang lahir dari pertumpahan darah.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif:
- Imaji visual: “jalan sempit diapit bukit”, “lalang gemetar”, “pucuk paku patah”, dan “enam belas kepala di kiri kanan jalan raya” menghadirkan gambar nyata tentang medan pertempuran.
- Imaji auditif: “wu wuwu wuwuwu”, “tret-tet-ter” menghadirkan bunyi sirene, tembakan, atau ledakan yang menegangkan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan antara lain:
- Onomatope – penggunaan bunyi “wu wuwu wuwuwu”, “tet-tet-tet” untuk menciptakan efek suara nyata.
- Metafora – “pucuk paku patah dibelasah waktu” menggambarkan kehancuran akibat peristiwa yang keras.
- Personifikasi – “lalang gemetar diserang angin” memberi sifat manusia pada benda mati untuk menggambarkan ketakutan atau guncangan.
- Repetisi – pengulangan frasa “seram meniti curam” memperkuat suasana mencekam.
Karya: Abdul Ghafar Ibrahim
- Abdul Ghafar Ibrahim lahir pada tanggal 31 Agustus 1943 di Kampung Sesapan Batu Minangkabau, Beranang, Selangor, Malaysia.
- Disamping menulis puisi, Abdul Ghafar Ibrahim juga melukis.
