Sunyi
Sekerat daging sunyiku
mengintip bencana di lubang pintu.
Mawar telanjang
bersembunyi pada tabir mimpinya
sudah itu peperangan
yang amat panjang.
Orang berbunuhan
darah mereka bertengkar, saling menerkam
lalu menguap jadi prahara.
Akhirnya ia kembali
menangkup diriku tanpa sisa
Bandung, 1985
Sumber: Horison (Mei, 1989)
Analisis Puisi:
Puisi “Sunyi” karya Pesu Aftarudin membawa pembaca pada perjalanan batin yang dalam, mengajak kita untuk merenung tentang ketidakpastian hidup, kekosongan, dan kekerasan yang muncul dalam diri manusia. Dalam puisi ini, penyair menggambarkan rasa kesunyian yang mengintip dari balik ketidakberdayaan, serta konflik-konflik batin dan dunia yang terjadi akibat ketegangan dan kekerasan.
Tema
Tema utama dalam puisi “Sunyi” adalah kesunyian yang dalam dan kekerasan batin. Puisi ini menggambarkan kondisi batin yang kosong, terjebak dalam kekosongan yang mendalam, tetapi pada saat yang sama, ada kegelisahan yang muncul akibat konflik-konflik yang terjadi di dunia luar. Tema ini mencerminkan konflik internal manusia yang sering kali tidak tampak di luar, namun sangat mempengaruhi kehidupan dan perasaan mereka.
Penyair juga mengangkat tema peperangan, baik itu peperangan fisik maupun mental, yang menjadi latar belakang dari kesunyian yang dialami. Ada gambaran tentang dunia yang penuh kekerasan dan pertentangan, serta bagaimana segala bentuk konflik ini dapat menggerogoti kedamaian batin.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini mengarah pada perasaan kosong dan terisolasi, serta bagaimana manusia terperangkap dalam dunia yang penuh konflik. Kesunyian bukan hanya sekadar keterasingan dari orang lain, tetapi juga perasaan yang mendalam tentang ketidakberdayaan dan ketidakpastian. “Sekerat daging sunyiku” menggambarkan betapa perasaan kesepian itu sudah menempel dalam diri, seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri sang penyair. Kalimat ini juga bisa dimaknai sebagai gambaran tentang penderitaan batin yang dialami oleh individu dalam menghadapi dunia yang penuh kekerasan dan kehampaan.
Puisi ini juga berbicara tentang konflik yang tak terhindarkan—baik yang bersifat fisik maupun emosional. Perang yang digambarkan dengan "orang berbunuhan" dan "darah mereka bertengkar, saling menerkam" menyiratkan gambaran kekerasan yang terus berlangsung tanpa henti, menciptakan perasaan saling menjauh dan saling menyakiti, baik di dunia luar maupun dalam diri individu itu sendiri.
Puisi ini bercerita tentang sebuah pengalaman batin yang terjebak dalam kesunyian dan kekerasan. Penyair menggambarkan kesunyian sebagai sebuah kondisi yang mempengaruhi jiwa dan tubuh, serta dampaknya terhadap persepsi dan pandangan terhadap dunia. Dalam puisi ini, kesunyian bukanlah kondisi yang tenang atau damai, melainkan sesuatu yang penuh dengan konflik dan penderitaan. Gambaran seperti “Mawar telanjang” yang bersembunyi dan “peperangan yang amat panjang” menunjukkan bahwa kesunyian ini membawa kekosongan yang tidak bisa disembunyikan, bahkan dalam mimpi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa mencekam dan penuh ketegangan. Kesunyian yang digambarkan oleh penyair tidak hanya sebatas keheningan, tetapi juga rasa takut dan kecemasan yang melingkupi jiwa. Perasaan ini diperburuk dengan gambaran tentang kekerasan yang terus berlangsung di dunia luar, seperti yang terlihat dalam “orang berbunuhan” dan “darah mereka bertengkar.” Semua ini menciptakan suasana yang gelap, penuh dengan rasa ketidakpastian dan kehancuran. Pada akhirnya, kesunyian yang dialami penyair juga mencerminkan keputusasaan, yang semakin terasa saat dunia luar dan dalam berbaur dalam kekacauan yang tak terhindarkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan tentang penderitaan yang dialami oleh individu dalam menghadapi dunia yang penuh konflik dan kekerasan. Ada semacam peringatan bahwa kesunyian bukanlah sekadar kekosongan yang bisa diabaikan, melainkan sebuah kondisi batin yang sangat mempengaruhi kehidupan kita. Kehidupan yang penuh dengan kekerasan, baik secara fisik maupun mental, dapat menggerogoti kedamaian dalam diri kita, menciptakan perasaan yang tak terhindarkan, seperti halnya perang yang terus berlanjut tanpa henti.
Imaji
Imaji yang tercipta dalam puisi ini sangat kuat dan menggugah. Penyair menggunakan kontras visual yang jelas antara kesunyian dan kekerasan untuk menggambarkan keadaan batin yang penuh dengan ketegangan. Beberapa imaji yang mencolok antara lain:
- “Sekerat daging sunyiku mengintip bencana di lubang pintu” menggambarkan bagaimana kesunyian seakan menjadi bagian dari tubuh, mengintip bencana yang akan datang.
- “Mawar telanjang bersembunyi pada tabir mimpinya” memberikan gambaran tentang kelembutan yang tersembunyi di balik kekerasan dan konflik, seperti mawar yang telanjang dan rapuh.
- “Orang berbunuhan darah mereka bertengkar” menciptakan gambaran kekerasan fisik yang tak terhindarkan, yang merusak kedamaian dan membawa kehancuran.
Imaji-imaji ini memperkuat nuansa kekerasan, kesepian, dan kehampaan yang tercipta dalam puisi ini.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas yang efektif untuk memperkaya makna:
- Personifikasi: Dalam puisi ini, daging dan mawar dipersonifikasikan seolah-olah memiliki perasaan dan kesadaran. Daging yang “mengintip bencana” dan mawar yang “bersembunyi” memberikan kesan bahwa objek-objek tersebut seolah-olah merasakan penderitaan yang dialami penyair.
- Metafora: Penggunaan kata “tabir mimpi” mengacu pada sesuatu yang tersembunyi dan tidak dapat dijangkau dengan mudah, yang menggambarkan keputusasaan dan kebingungan batin.
- Antitesis: “Orang berbunuhan darah mereka bertengkar” menunjukkan kontras antara manusia yang seharusnya hidup berdampingan tetapi malah saling menyakiti satu sama lain, menciptakan kekerasan yang tidak berkesudahan.
Puisi “Sunyi” karya Pesu Aftarudin menggambarkan kesunyian yang penuh dengan konflik batin dan kekerasan. Dengan menggunakan imaji yang kuat dan majas yang mendalam, penyair membawa pembaca untuk merenungkan bagaimana kekosongan dalam diri bisa menjadi cermin dari kekerasan dan pertentangan yang terjadi di dunia sekitar kita. Puisi ini menjadi refleksi tentang penderitaan yang dialami oleh individu dalam dunia yang keras dan penuh konflik, serta pentingnya memahami bahwa kesunyian bukan hanya keheningan, melainkan juga perasaan yang sarat dengan penderitaan dan ketidakpastian.