Dalam jagat puisi Indonesia kontemporer, Ook Nugroho muncul sebagai suara yang tidak lantang namun sarat gema. Lahir di Jakarta pada 7 April 1960, dan dengan pengalaman hidup yang membentang dari dunia asuransi hingga pabrik tekstil, ia menghadirkan puisi dari posisi yang sangat manusiawi: seorang pekerja biasa yang menggali kedalaman bahasa dari keringat sehari-hari dan kontemplasi sunyi.
Sebagai penyair, Ook Nugroho tidak dibentuk oleh panggung akademik atau lingkungan sastra yang eksklusif, melainkan oleh kehidupan konkret dan keseharian yang penuh pergulatan. Ini bukan sekadar biografis, tapi juga estetik: puisinya terasa sangat jujur, tidak dibuat-buat, dan menyuarakan perasaan yang resah, tenang, gelisah, ataupun lirih—dalam satu tarikan napas puitik yang khas.
Pada tahun 2002, sebuah puisinya meraih SIH Award dari Jurnal Puisi, sebuah pengakuan yang menandai bahwa karya Ook bukan sekadar pengisian halaman, melainkan kontribusi nyata dalam pusaran puisi Indonesia. Ia bukan hanya “ikut menulis”, tetapi memberi sesuatu yang berarti: semacam bayangan kata-kata yang tinggal dalam ingatan pembaca setelah puisinya selesai dibaca.
Buku:
- 60 Puisi Indonesia Terbaik (antologi puisi, 2009);
- Hantu Kata (kumpulan puisi, 2010);
- Tanda-Tanda yang Bimbang (kumpulan puisi, 2013).
Kumpulan puisinya yang pertama, “Hantu Kata” (2010), adalah karya yang bisa disebut sebagai deklarasi estetiknya. Judulnya saja sudah memberi isyarat: kata-kata dalam puisi bukan sekadar alat komunikasi, melainkan makhluk yang hidup, yang bisa gentayangan, mengganggu, merasuk, atau justru menyelamatkan. Dalam dunia yang penuh kegaduhan informasi dan kata-kata yang hampa, Ook seperti mengingatkan kita bahwa kata bisa punya roh. Bahwa menulis puisi bukan memahat pesan, tapi memanggil hantu-hantu yang tak pernah benar-benar bisa dijelaskan sepenuhnya.
Lalu hadir “Tanda-Tanda yang Bimbang” (2013), buku yang semakin menegaskan arah puisinya yang cenderung reflektif dan subtil. Di tengah ledakan puisi-puisi yang provokatif atau gemar memamerkan kelincahan metafora, Ook hadir dengan kesederhanaan yang penuh daya. Puisinya tidak buru-buru mengikat makna, ia membiarkan pembaca tenggelam dalam ambiguitas, dalam kebimbangan yang puitik. Dan justru di situlah letak kekuatannya—Ook tidak menawarkan jawaban, tetapi membuka ruang permenungan.
Salah satu hal yang membuat Ook Nugroho penting dalam peta puisi Indonesia adalah kenyataan bahwa ia hadir dari latar yang tidak dominan, tetapi tulisannya memancarkan kearifan yang mendalam. Ia bukan penyair salon, bukan penyair festival, bukan pula penyair media sosial. Tapi justru dari ketersembunyiannya itulah muncul kekuatan: ia tidak menjual citra, ia tidak membentuk persona. Yang ia berikan kepada pembaca adalah kata, dalam bentuknya yang paling sunyi sekaligus paling jujur.
Keikutsertaannya dalam antologi “60 Puisi Indonesia Terbaik” (2009) merupakan pengakuan kolektif dari komunitas sastra bahwa suara Ook memang patut dicatat. Ia tidak hadir sebagai tren, tetapi sebagai jejak yang menetap.
Membaca Ook Nugroho adalah seperti berjalan dalam kabut—kadang kita kehilangan arah, tapi justru karena itulah kita belajar untuk benar-benar memperhatikan langkah kita sendiri. Puisinya mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru memahami, melainkan menikmati ketidaktahuan dan keheningan sebagai bagian dari pengalaman puitik itu sendiri.
Di era ketika puisi sering kali tergoda untuk tampil mencolok atau viral, Ook Nugroho tetap menjadi penyair yang setia pada keheningan. Ia adalah pengingat bahwa puisi yang baik bukan selalu puisi yang ramai, melainkan puisi yang bisa membuat kita berhenti sejenak dan mendengarkan kembali suara dalam diri kita sendiri.
Sebagai bahan telaah, berikut kami sudah merangkum beberapa Contoh Puisi karya Ook Nugroho untuk anda baca. Semoga bisa menjadi inspirasi dan bahan bacaan yang menyenangkan untuk melampiaskan rasa.