Puisi: Subuh sampai Magrib (Karya Taufiq Ismail)

Puisi "Subuh sampai Magrib" karya Taufiq Ismail mengeksplorasi tema-tema keagamaan, spiritualitas, dan eksistensialisme dengan gaya bahasa yang ...

Subuh sampai Magrib,
Suatu Hari pada Awal Abad Lima Belas


Matahari bagai berenang, nyaris tenggelam
            menjelang malam
            di suatu tumpak di lautan, di barat sana
bagai terompah kuda yang pijar
dicelup di ember apar
kurasakan percikan panas dan denyar
ketika bola api itu sepenuhnya tenggelam

Abad lima belas!

Langit menawarkan garis-garis cahaya
Engkau mungkin, seperti jamaknya, cuma menduga-duga

Mungkin ada pelangi seperempat lingkaran
            dan sekawanan unggas beterbangan di bawahnya

Mungkin ada langit biru bersih
            dan bertabur gugus awan
            bentuknya seperti tabel statistika

Mungkin ada pergeseran angin menyimpan rencana
            dan deretan badai berlatih
            kini terdengar siulnya

Mungkin tak ada kemungkinan lain
            kecuali fajar yang pecah
            bertebaran bagai merjan
            merjan bagai permata
            permata bagi cahaya
            cahaya di atas cahaya
            cahaya yang mengelupaskan kita dari kelam
            cahaya yang menggasak kelam habis-habisan

Abad lima belas!

Subuh itu beratus juta orang berwudhu
            dengan air dan cuaca belahan dunia utara
            dengan air dan cuaca bumi tropika
            dengan air dan cuaca belahan selatan

Inilah subuh pertama abad lima belas

Dengarlah ratusan juta tangan
            berdesir mengisyaratkan takbir

Dengarlah ratusan juta pernafasan
            melafazkan ikrar

Dengarlah ratusan juta kening
            menggesek bumi

Dengarlah ratusan juta manusia
            membaca doa

Dan doa itu seluruhnya akan dikabulkanNya
            akan dikabulkannya

Seperti akan terkabulnya
            terbit fajar sesudah subuh pertama
            subuh pertama abad lima belas

Maka kini tersingkaplah jam awal di hari awal
Alhamdulillah
Beratus juta kita bertebaran di muka bumi
Ada yang melata, ada yang beringsut
            ada yang merangkak, ada yang berlari
            ada yang berkendaraan

Ada yang searah, ada yang menyilang
            ada yang melayang
            ada yang tertindih, ada yang pipih

Beratus juta kita bertebaran di muka bumi pagi ini
Mesin mendesing, debu berkepulan
            dan waktu melesat kencang
Udara berpindah cepat dan bertukar nama jadi angin
Angin melaju kencang dan berganti nama jadi badai
Cuaca mendaki dan menurun mengubah suasana
Sementara kita mencoba merumuskan
            dan merumuskan kembali
Makna dan cara jadi khalifah di atas bumi

Sementara ketaqwaan beratus juta
            senantiasa diuji dan dicoba
Sementara tauhid beratus juta
            selalu diintai dan disergap
            di setiap tikungan jalan
Tak henti-hentinya
tak habis-habisnya

Dengarlah kini panggilan yang diserukan itu
            semerdu-merdu panggilan
Dan garis lintang barat sampai garis lintang timur
Saling jawab-menjawab, tak habis bersahutan
            sepanjang hari
Dan alhamdulillah, ratusan juta
            menggesekkan kening mereka ke bumi
Menaruh seperangkat persendian tulang
            di atas hamparan sajadah
Sajadah alangkah panjangnya terbentang
Dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan
            beratus juta buaian
            beratus juta kuburan

Abad lima belas!

Abad yang makin dekat ke hari akhirat
Abad yang menagih tugas khilafah yang semakin berat
Abad yang minta warna ketaqwaan yang semakin pekat
Abad yang rindu tak terkata, pada nama Muhammad

Pada suatu sore di hari itu
Ketika matahari tampak dan hilang
            di antara pelepah dan gugus daunan
Kersik beterbangan, debu menyapu jalanan
            menembus sederet pepohonan

Aku tengadah menyidik cuaca dan langit atas sana
Beberapa gugus awan, bagai kapas cabik-cabik
            tergantung beraturan
Ada sekumpulan unggas, putih badan dan sayapnya
Terbang ke arah kiblat dalam formasi segi tiga

Kau dengar bukan, empat kelepakan sayap mereka bersuara
            Subhan-Allah
Dan lima ayunan sayap berikutnya menggumamkan
            Alhamdu-Lillah
Dan tujuh gelombang sayap sesudah itu
Menggetarkan
            La Ilaha Ill-Allah
Kemudian lima gerakan melayang membisikkan
            Allahu Akbar
Simaklah gerakan kawanan unggas di atas
Yang tak putus-putusnya berzikir
Yang tak habis-habisnya mengingat Allah
Dan mereka terbang dalam formasi alangkah cantik
Teratur, berdisiplin serta jelas arahnya
Melayang dengan tenang ke arah kiblat
Dan tepat pada bilangan ke sembilan puluh sembilan
Mereka menghilang ke dalam awan

Kemudian masuklah magrib
            dan ada kumandang semerdu-merdu kumandang

Dan garis lintang barat sampai garis lintang timur
Saling jawab-menjawab, tak habis bersahutan
Dan alhamdulillah, ratusan juta
            menggesekkan kening mereka ke bumi

Menaruh seperangkat persendian tulang
            di atas hamparan sajadah
Sajadah alangkah panjang terbentang
Dari kaki buaian sampai ke tepi kuburan
            beratus juta buaian
            beratus juta kuburan

Abad lima belas!

Abad yang makin dekat ke hari akhirat
Abad yang rindu tak terkata, pada nama Muhammad
Abad yang minta warna ketaqwaan yang semakin pekat
Abad yang menagih tugas khilafah yang semakin berat.

Jakarta, 1404

Sumber: Horison (Mei, 1986)

Analisis Puisi:

Puisi "Subuh sampai Magrib" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya yang mendalam dan reflektif mengenai spiritualitas, ketaqwaan, dan eksistensialisme dalam konteks zaman modern.

Tema Utama

  • Waktu dan Ritual Keagamaan: Puisi ini menggambarkan pengalaman spiritualitas melalui rentang waktu dari subuh hingga magrib, mencakup aktivitas ibadah seperti shalat, serta refleksi atas makna kehidupan dan eksistensi manusia dalam konteks ketaqwaan kepada Tuhan.
  • Kesadaran Akan Kehadiran Ilahi: Puisi ini menyoroti kesadaran akan kehadiran ilahi dalam setiap aktivitas manusia, dari ibadah hingga aktivitas sehari-hari. Penggambaran langit, cuaca, dan alam semesta menjadi simbol-simbol yang menggambarkan keterkaitan antara manusia dan penciptanya.
  • Eksistensialisme dan Kehidupan Modern: Meskipun berakar dalam nilai-nilai keagamaan yang mendalam, puisi ini juga mencerminkan kehidupan modern dengan semua kompleksitas dan tantangannya, dari teknologi hingga lingkungan sosial yang dinamis.

Gaya Bahasa dan Imaji

  • Bahasa Puitis dan Simbolis: Taufiq Ismail menggunakan bahasa yang kaya akan imaji untuk mengekspresikan pengalaman spiritual. Contohnya, gambaran "matahari bagai berenang, nyaris tenggelam" menggambarkan perubahan waktu dengan keindahan dan dramatisme yang kuat.
  • Imaji Alam dan Ritual: Imaji-imaji seperti "kiblat", "awan", "matahari", dan "kiblat dalam formasi segi tiga" tidak hanya menciptakan gambaran visual yang kuat, tetapi juga menghubungkan pembaca dengan alam semesta dan keagungan penciptaannya.

Emosi dan Nuansa

Puisi ini menimbulkan nuansa introspeksi yang mendalam terhadap spiritualitas dan eksistensialisme manusia. Emosi seperti kerinduan akan makna hidup, keterkaitan dengan alam semesta, dan kesadaran akan keagungan Tuhan terasa kuat dalam setiap baitnya.

Puisi "Subuh sampai Magrib" karya Taufiq Ismail adalah sebuah karya sastra yang memukau dan mendalam, mengeksplorasi tema-tema keagamaan, spiritualitas, dan eksistensialisme dengan gaya bahasa yang puitis dan imaji yang kuat. Melalui penggambaran waktu dan aktivitas ritual, puisi ini tidak hanya mengajak pembaca untuk merenungkan arti kehidupan dan ketaqwaan, tetapi juga untuk mengapresiasi keindahan alam semesta dan kompleksitas eksistensi manusia di dunia modern. Dengan kata lain, Taufiq Ismail berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya menginspirasi secara spiritual, tetapi juga intelektual dalam memahami hubungan manusia dengan Tuhan dan alam semesta-Nya.

Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Subuh sampai Magrib
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.