6 Februari
Selamat Pagi Usia
kembang-kembang itu terus bermekaran, datang dan mereka kirim
setiap gendang riuh, padaku jauh terpukau ruang gelap: sunyi
dengan dada yang sama, warna merah jambu merobek hari
mungkin sebagai malin, "bunda, di mana rantauku?"
hanya rambutku yang memutih oleh waktu, dan kapal-kapal
senantiasa melengking melambai diri
ini lilin, entah ucap siapa
bila terbakar usia akan susut
maka siapkanlah sebuah perpisahan
saat upacara yang dinamakan kelahiran, dulu
berbagai-bagai kematian pun telah ditulis di atas perjalanan
dan insan segera mengerti cara menangis, maka bersalamlah
ketika kereta yang sama melintas-lintas mengulang jejak
mungkin sudah waktunya kita bijaksana, bahwa usia
hanyalah kembang di antara takdir-takdir sebelum pertemuan
dengan tuhan
Payakumbuh, Februari 1998
Sumber: Horison (September, 2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Selamat Pagi Usia" karya Iyut Fitra menyuguhkan refleksi mendalam tentang waktu, usia, dan perjalanan hidup manusia. Dengan bahasa yang penuh imaji dan simbol, penyair mengajak pembaca merenungkan siklus kehidupan, kelahiran, dan kematian, sekaligus kesadaran akan keterbatasan waktu.
Tema
Tema utama puisi ini adalah refleksi tentang usia dan perjalanan hidup. Penyair menekankan kesadaran bahwa usia manusia terbatas dan senantiasa bergerak, seperti bunga yang mekar dan layu. Ada juga tema tentang perpisahan, kematian, dan perenungan spiritual yang membingkai eksistensi manusia.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan manusia menghadapi waktu dan usia, mulai dari kelahiran hingga kesadaran akan kematian:
- Kembang yang terus bermekaran melambangkan usia yang berjalan dan pengalaman hidup yang terus bertambah.
- Lilin yang terbakar menandakan waktu yang terus habis dan usia yang menipis.
- Upacara kelahiran dan penulisan kematian di atas perjalanan menegaskan kesadaran bahwa hidup dan mati saling terkait dalam siklus yang tak terelakkan.
- Selain itu, penyair menyiratkan perjalanan batin manusia, termasuk pertanyaan tentang identitas dan tujuan hidup, misalnya dalam baris: “bunda, di mana rantauku?”.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah:
- Usia dan hidup manusia bersifat sementara; setiap pengalaman, kesenangan, dan penderitaan hanyalah bagian dari perjalanan.
- Kematian dan kelahiran saling terkait, mengingatkan pembaca untuk bijaksana dalam menjalani hidup.
- Kesadaran spiritual hadir sebagai pengingat akan hubungan manusia dengan Tuhan dan tujuan akhir kehidupan.
- Puisi ini mendorong pembaca untuk merenungkan makna hidup dan menghargai setiap momen usia sebagai kembang yang mekar sementara.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini merenung, lembut, dan sedikit melankolis. Pembaca merasakan ketenangan dan keterpukauan terhadap jalannya waktu, sekaligus kesadaran akan keterbatasan usia. Ada nuansa sunyi dan penuh renungan, yang mencerminkan perjalanan batin penyair menghadapi kehidupan dan takdir.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji, antara lain:
- Imaji visual: kembang yang bermekaran, lilin yang terbakar, kapal-kapal melengking—memberikan gambaran waktu dan usia yang bergerak dan memudar.
- Imaji auditori: gendang riuh yang diterima dari jauh menambah kesan hidup yang bising dan penuh pergerakan, namun tetap dipantau dari sudut pribadi penyair.
- Imaji simbolik: lilin sebagai simbol usia dan kematian, kembang sebagai simbol kehidupan yang sementara, dan kapal sebagai perjalanan manusia dalam waktu.
Majas
Beberapa majas yang menonjol antara lain:
- Metafora – usia disamakan dengan kembang dan lilin, melambangkan kehidupan yang sementara dan mudah pudar.
- Personifikasi – kembang “mengirim” gendang, seolah benda mati memiliki kesadaran dan tujuan.
- Simbolisme – lilin, kembang, dan kapal melambangkan hidup, waktu, dan perjalanan spiritual manusia.
- Pertanyaan retoris – “bunda, di mana rantauku?” menimbulkan kesan refleksi pribadi dan pencarian makna hidup.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan tentang:
- Kesadaran akan keterbatasan usia dan pentingnya menghargai setiap momen hidup.
- Kematian sebagai bagian dari siklus kehidupan, sehingga manusia harus bijaksana dan siap menghadapi takdir.
- Perenungan spiritual, mengingatkan bahwa tujuan akhir manusia adalah kembali kepada Tuhan setelah perjalanan hidup.
Puisi "Selamat Pagi Usia" karya Iyut Fitra adalah karya yang mengajak pembaca merenung tentang waktu, usia, dan perjalanan hidup manusia. Dengan imaji yang kuat, majas yang halus, dan tema yang reflektif, puisi ini menjadi cermin batin bagi setiap orang yang ingin memahami hidup dan kematian. Penyair berhasil mengekspresikan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam bingkai simbolik dan penuh keindahan, membuat pembaca merasakan keindahan sekaligus melankolis perjalanan usia.
Puisi: Selamat Pagi Usia
Karya: Iyut Fitra
Biodata Iyut Fitra:
- Iyut Fitra (nama asli Zulfitra) lahir di Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat, pada tanggal 16 Februari 1968.
