Graben Sore Hari
Seekor gagak bertengger di pucuk salib
gereja tua, seperti sang ajal
yang menatap nyalang ke segala arah.
Langit mendung sepanjang pandang
sore itu. Lalu gerimis turun.
Ribuan turis tak peduli
dengan semua itu, jalan ke sana
ke mari, entah apa yang dicari.
“Inilah Graben, yang sibuk
oleh para pelancong,” katamu.
Sebagian ada yang keluar masuk
tempat ibadah,
yang di dalamnya dihiasi
dengan nyala lilin, bau dupa,
dan lukisan Yesus memanggul salib,
menanggung dosa umat manusia.
Ada juga lukisan Bunda Maria
dengan malaikat bersayap dua.
Lainnya ada peziarah yang duduk
di atas bangku kayu,
memanjatkan doa ke langit yang jauh,
seakan diawasi malaikat maut
yang siap mencabut nyawanya.
Dan aku, seperti juga dirimu
asyik duduk di lantai jalanan
yang dingin, mendengar seseorang
memainkan musik klasik dengan piano
yang dibuat pada awal Abad 20
“Ia datang dari Asia Timur
mengais euro di kota ini. Ia bukan
orang pertama,” katamu. Di atas kepala
koak gagak melintas lagi, entah terbang
dari mana. Lalu gema lonceng
begitu nyaring aku dengar, menyatu
dengan gerimis, jadi puisi
yang lain di kota ini.