Roma, Akhir 1991 (1)
Janganlah mengerang untukku di musim dingin ini
Sebab aku tak menjadi lebih gila tanpa mantel tebal
Atau tanpa alat pemanas di kamar. Kudengar letusan-letusan
Seperti ada bagian langit yang retak
Di jalanan anak-anak muda menyulut mercon dan granat
Sambil minum bir. Aku tak menjadi lebih gila
Tanpa ciuman dan elusan tanganmu di paha
Kini aku bernyanyi bersama angin yang berteriak
Pada tembok-tembok tua. Janganlah mengerang untukku
Sebab aku hanya bernyanyi untuk diriku sendiri
Setelah lelah menyusuri jejak matahari
Dan tergolek di hotel sunyi. Janganlah mengerang
Musim semi nanti hanya putaran kaset yang berulang
Daun-daun akan luruh kembali dan rambutmu pun memutih —
Sementara aku tak akan menjadi lebih gila lagi
Roma, Akhir 1991 (2)
Telah kularikan perut laparku ke jalan-jalan raya
Ke museum-museum, galeri-galeri dan butik-butik
Yang mewah. Kupecahkan pikiranku berkeping-keping
Dan kembali kususun perasaan-perasaan halusku
Seperti sungai Tevere yang mengalir tenang
Di mana pun kesepian selalu mengalirkan puisi
Kesepian lebih dekat pada hujan namun menyukai ledakan
Seperti mercon dan granat di tangan anak-anak muda
Atau lenguhan panjang seorang perempuan
Di sini aku tak menjadi lebih gila tanpa gigitanmu
Atau tanpa sodokan yang biasa pada lambungku
Janganlah mengerang untukku dan cukup pejamkan matamu
Bagaimana telah kita lewati tahun-tahun penuh candu —
Sementara kereta bawah tanah masih terus melaju
Dan kesepianku belum juga mati digilasnya
1992
Sumber: Di Atas Umbria (1999)
Analisis Puisi:
Acep Zamzam Noor, seorang penyair Indonesia yang dikenal karena kepekaan eksistensialnya, dalam puisi berjudul "Roma, Akhir 1991" menghadirkan perenungan batin seorang individu yang jauh dari tanah air, menghadapi kesepian, kehilangan, dan dentingan memori personal di tengah hiruk-pikuk kota Roma yang agung namun dingin. Puisi ini terbagi menjadi dua bagian, keduanya merekam kesan-kesan mendalam yang personal, nyaris seperti fragmen buku harian puisi.
Tema
Tema utama dalam puisi Roma adalah kesepian dan alienasi dalam perjalanan batin di tanah asing. Puisi ini mengangkat bagaimana seseorang mencoba berdamai dengan rasa sepi dan kehilangan, serta refleksi tentang waktu, kenangan, dan kerinduan. Kota Roma, yang biasanya diasosiasikan dengan kemegahan sejarah dan romansa, dalam puisi ini justru menjadi latar dari sunyi yang mendalam dan pencarian eksistensial.
Makna Tersirat
Makna tersirat yang kuat dalam puisi ini adalah bahwa kesepian adalah pengalaman universal yang tidak mengenal ruang, waktu, atau kemewahan. Dalam bait-bait yang tampak sederhana namun padat nuansa psikologis, Acep menyingkap bahwa jauh dari rumah dan orang terkasih, seseorang tak selalu menjadi "lebih gila", melainkan belajar mengenali dirinya sendiri dalam kesendirian yang tak terhindarkan.
Ada pula kritik halus terhadap romantisasi modernitas dan perjalanan. Museum, butik, galeri—semua simbol kemewahan—tidak memberi kenyamanan emosional. Justru yang paling jujur dan manusiawi adalah kesendirian, gigitan memori, dan kerinduan akan keintiman yang dulu pernah ada.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman pribadi penyair yang sedang berada di Roma pada musim dingin akhir tahun 1991. Dalam kesendiriannya, ia berbicara pada seseorang yang dekat dengannya—kemungkinan kekasih, istri, atau sahabat—dan menjelaskan bahwa meskipun tak lagi bersama, dirinya tidak gila oleh jarak dan rindu. Ia mengisi waktu dengan berjalan-jalan, merenung di museum, menyaksikan kehidupan jalanan, dan berusaha menyusun kembali perasaan-perasaan yang hancur dalam keasingan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah sepi, dingin, dan kontemplatif, dengan nada melankolis yang konstan. Ada kesan dingin secara harfiah (musim dingin di Roma), dan dingin secara emosional karena perpisahan dan jarak. Sekaligus, ada suasana eksistensial yang absurd: letusan mercon, museum mewah, kereta bawah tanah, semua hadir dalam satu ruang batin yang teralienasi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan atau amanat dari puisi ini adalah bahwa kesepian adalah ruang sunyi yang bisa menjadi tempat bagi seseorang untuk berdialog dengan dirinya sendiri, untuk tidak mengemis cinta, dan untuk belajar menerima hidup sebagaimana adanya. Penyair tampak menyuarakan bahwa hidup, meski tanpa pelukan atau gigitan cinta, tetap berjalan. Roma hanyalah latar; yang lebih penting adalah bagaimana kita bertahan dalam badai batin sendiri.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini sangat kaya dengan imaji visual dan suara yang konkret dan khas:
- “letusan-letusan seperti ada bagian langit yang retak”: imaji pendengaran dan visual yang menyiratkan ketegangan suasana.
- “anak-anak muda menyulut mercon dan granat sambil minum bir”: visual tentang kehidupan jalanan yang liar dan paradoksal.
- “bernyanyi bersama angin yang berteriak pada tembok-tembok tua”: personifikasi yang menciptakan lanskap kota tua yang hidup.
- “museum-museum, galeri-galeri, butik-butik mewah”: simbol modernitas yang kontras dengan batin yang hampa.
- “kereta bawah tanah masih terus melaju”: imaji gerak sebagai simbol waktu yang tak bisa dihentikan, meski jiwa masih tertinggal.
Majas dalam Puisi
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
Personifikasi:
- “angin yang berteriak pada tembok-tembok tua”: memberi nyawa pada unsur kota yang mati.
- “kesepian lebih dekat pada hujan namun menyukai ledakan”: kesepian digambarkan seperti makhluk yang punya preferensi.
Metafora:
- “kupecahkan pikiranku berkeping-keping dan kembali kususun perasaan-perasaanku”: pikiran dan perasaan disamakan dengan benda yang bisa dipecah dan disusun kembali.
Hiperbola:
- “aku tak menjadi lebih gila tanpa ciuman dan elusan tanganmu di paha”: hiperbola untuk mengungkapkan kekuatan menahan rindu dan perpisahan.
Simbolisme:
- “musim semi nanti hanya putaran kaset yang berulang”: simbol dari harapan yang tidak lagi segar, atau kebahagiaan yang tak benar-benar datang.
- “kereta bawah tanah masih terus melaju dan kesepianku belum juga mati digilasnya”: simbol bahwa modernitas tidak mampu menghapus luka batin.
Puisi "Roma, Akhir 1991" karya Acep Zamzam Noor adalah meditasi puitik atas kesendirian dan eksistensi di tengah kehidupan modern. Mengambil latar kota yang megah, puisi ini membalik ekspektasi pembaca: bahwa di balik arsitektur agung dan fasilitas mewah, ada manusia yang tetap terjebak dalam kerinduan dan sunyi. Acep menulis bukan sekadar puisi tentang Roma, melainkan tentang Roma batin yang dilintasi oleh setiap manusia yang pernah merasa asing, sekalipun di tempat yang katanya paling indah.
Puisi ini mengingatkan kita bahwa kota-kota besar—dengan segala gemerlapnya—tak selalu menyembuhkan. Yang menyembuhkan adalah penerimaan, ketegaran, dan kemampuan untuk bernyanyi untuk diri sendiri, seperti yang dilakukan penyair, di tengah badai rasa dan musim dingin yang tak juga habis.
Biodata Acep Zamzam Noor:
- Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
- Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.
