Selendang Sutra
(untuk Ismail Marzuki dan Sukamto)
Di garis depan
(mungkin bertahun-tahun) aku
menunggu si penulis lagu (yang namanya
terlanjur kupahatkan di batu nisan). Sebab hanya
ia yang mampu berbahagia di tapal batas
di antara masin serdadu dan manis dara,
sebab hanya ia yang tabah meniti
kilatan api dengan jemarinya yang cergas
runcing seperti sapu lidi. Ingatlah bahwa ia
dan aku pernah tumbuh bersama diatas lemari,
berguling dan pecah seperti biji kenari,
(lalu ia jauh di mata karena memuntahkan peluru).
Hampir malam di Jogja
ketika ia turun dari kereta,
lebih gesit dari maut, lebih biru dari laut,
ia tak memandangku, sebab aku luas hijau lumut
di tengah merah revolusi. Ia hanya menyentuh
lukaku, lembut seperti selendang sutra,
ia berkata kepada sang dara (yang menanti
di balik jendela). Lekaslah, ambil seisi,
ambil sebiji, sebab kami tak mampu
melindungimu, hai sepasang mata bola,
dan ia menggesek lenganku. Tanda mata
dari seabad lalu. Baru aku tahu
betapa masin pualam nisan dan manis lidah api
yang dibawanya dari Kwitang atau Cikini,
dan betapa kami hanya penerima
karangan kembang
di garis belakang.