Sajak (1)
engkau tahu, ruangan ini amat gelap dan mendebarkan, bukan? mengapa kau datang ke mari dan tidak beratkah engkau langkahkan kaki?
garis-garis remang dan bayangan-bayangan kelam di depanmu hanya bisa kau caba dengan mata di dalam batinmu, itu pun jika engkau berhasil memelihara denyutan-denyutan yang menandai hidupmu betapapun terseret dan — bagai membeku
garis-garis dan bayangan itu semakin tidak kau kenal jika terlalu lama engkau amati, mengapa kau datang ke mari dan mukamu seakan berseri?
"Kekasihku berada di sini!" — katamu.
ah jangan berbicara tentang Kekasih bagai seorang pelupa! bayangan-bayangan menggoda, Kekasih yang bagai akan kau jumpa, memberimu sedikit tenaga tapi kemudian lenyap dari sisimu sambil tertawa dan meninggalkan suara-suara yang tak bisa dicerna
dan engkau, seperti juga aku, kemudian tergeletak bagai boneka, tergeletak, menggerak-gerakkan kepala, tergeletak di lantai yang dingin dan tahu akhirnya bahwa di mana-mana pun adalah panggung permainan-Nya.
"emha?"
ya? —
"apa cita-citaku sekarang?"
ah, kau meledekku, janganlah begitu, kau mengganggu bunyi tertawaku yang tak henti-hentinya meskipun tanpa sebab dan betapapun sumbangnya, kau mengganggu nyanyian-nyanyianku yang terlempar-lempar meskipun tanpa sebab dan sukmaku yang tetap berpijar-pijar meskipun tanpa sebab
tapi baiklah, usahakanlah agar kau tak memiliki setitikpun cita-cita atau keinginan apa-apa, engkau tahu, ruangan ini amatlah gelap dan berbahaya, kembalilah, kembalilah ke rumahmu, menyisir rambut dan merapikan sepatu.
"bukankah hanya di tengah gelap gulita begini bisa kutemu cahaya yang paling bercahaya?"
ya, demikianlah kata anak dewa-dewa, "buat apa memperpanjang kesia-siaan dan tipuan rahasia-rahasia, cepatlah jadi ruh, cepatlah kembali kepada-Nya!" — demikianlah kata anak dewa-dewa yang hidup di angan-angan kita . . . . .