Putri Malu
Puan, usahlah berpaku pada pintu,
sudah mahir aku memasukimu.
Puan, walau gaunmu kian kembang,
terdedah ke lekukmu aku gelombang.
Lamat-lamat kajimu di dekat tungku,
agar kuresapkan bebulir keringatmu.
Malam pencemburu, aku pun pemburu
kilau kunang-kunang di puncak susumu.
Lebih cergas dari cambuk para teungku,
lebih lekas aku sampai ke punggungmu.
Membelengguku si kitab tiada mampu,
sebab telah kucecap bahang lidahmu.
Kerudungmu kian membuat matahari
mengiri kilau rambutmu tak terperi.
Sesekali aku akan menepi ke Sigli,
agar kautahu jantungku sedalam perigi.
Sesekali namamu mereka ungkai ke Pasai,
tapi kau ngarai dan aku gerimis renyai.
Bila antara kita jurang mereka ternganga,
berpagutan kita ke makam Samalanga.
Puan, sebab mata kalis dari perlambang,
hanya mereka sigi mana milikmu telanjang.
Bila mereka rengkuh mahligaimu seluruh,
di setiap buhulmu sungguh jemariku penuh.
Maka lekaslah tamatkan seluruh kaji,
agar laparmu menyengat tudung saji.
Maka janganlah malam menjadi pagi,
sebab di mulutmu kukulum daun temurui.
Esok kuncupkan kainmu sedekat mati,
sambil kaukenang sedap ujung belati
yang tak menusukmu, tapi mendayungmu
nun ke pangkal dan ujung paling biru.
Puan, aku lautan dan kau perahu Fansuri,
di pulau para penghulu kita maha-pencuri.
Tinggi-tinggilah mereka mengayun cemeti,
dalam-dalamlah resam dayung-belati.
Puan, perkenankanlah si belati kuminta lagi,
agar ke selongsong swami kau jenak kembali.
Tinggal kunang-kunang di hulu pahaku
gemilang kian oleh gelimang getahmu.