Perempuan
ditipu oleh kecongkakan yang musti kupelihara, kupan-
dang kamu secara amat sederhana:
serupa kain penutup kulitku dari tatapan mata
orang banyak serta hembusan angin yang sesak
serupa baju kaos, yang menghisap sampai kering
keringat tubuhku di tengah chaos
serupa payung yang melindungiku dari hujan le-
bat atau terik matahari — kurentangkan ia jika
diperlukan, dan jika tidak, kusungkup dan ku-
simpai saja di almari
lebih kuperlukan jika tubuhmu tegar menggairahkan atau
jika mripatmu menyorotkan kelainan-kelainan
yang mengertak mata jiwaku
kupanggil dan kamu mendekat padaku, kujabat
tanganmu sambil tersenyum, kubelai rambut ge-
raimu dengan telapak tangan Nabi Jusup, kemu-
dian kuraih, kucengkam pundakmu, kurebahkan
dan akhirnya kureobek semua kain yang melekat
di tubuhmu — Tuhanku, kujelajahi seluruhnya.
kutembus gua-nya dan kuhisap seluruh pori dan
cairan-cairannya — kusangka dengan demikian
aku telah memperolehnya!
tidak, tidak — aku sama sekali belum menggenggam Pe-
rempuan itu kemudian menghisap sarinya: gua-
nya terlalu gelap dan tanganku luput menangkap
bayang-bayang itu
Perempuan, siapakah kamu sebenarnya? sebab
kemulusan, kemontokan dan kegairahan tubuh
hanyalah nina bobo yang sia-sia
datang bagai seribu burung melintas di depan mataku, ber-
nyanyi-nyanyi nyaring dan selalu di antara nada-
nya itu terasa denyutan-denyutan yang sejak
lama kurindukan serta percikan-percikan yang
bagai mengisyaratkan bayangan Tuhan!
percikan-percikan yang bagai mengisyaratkan bayangan
Tuhan, percikan-percikan yang memberi alasan
kepadaku untuk tetap mempertahankan hidup
dan sedikit harapan-harapan, Perempuanku! —
tak bisa kuusir kamu, tak bisa kuusir tenaga hi-
dupku . . . . .