Penunggang Kuda Hitam
(untuk Ugo Untoro)
Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba-tiba sampai di depan rumah jagal di mana kuda-kuda bertaji mengantri untuk melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar.
Gurunya, yang biasa mengajari ia menggubah sosok lelaki penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, “Para pengantri itu sedang berbahagia. Dan hari ini engkau sudah dewasa. Marilah,” dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang mirip ruang kelasnya sendiri,
di mana ia disudutkan oleh--entahlah, ia sungguh ragu siapa?--bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, “Berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah gambarkan rupa para kekasih yang telanjur punah itu. Agar kami mampu memercayaimu.”
Maka di layar raksasa yang dibentangkan untuknya di ruang terang-benderang itu ia melukis karung tinju, sedan Impala, boneka kain bekas, satria wayang kulit, daun anturium, sepatu hak tinggi, ular Warhol, benteng batako, sepeda Raleigh, sangkar burung balam, kolam renang, penyair mata pisau, penggemar ikan asin, sepur Mutiara, sapu ijuk Yu Sri?
sampai ia terjaga oleh pukulan di perutnya, yang tersusul teriakan sekerumun umat, “Wahai lelaki penunggang kuda, kenapa engkau hanya membawa kami berpacu dengan lautan benda belaka? Di mana kudamu, jantung hatimu, yang akan menghela kami menuju khazanah penuh hikmat kebijaksanaan dari kumpulan orang mati?”
Ia pun sadar bahwa ternyata tangannya sudah berlumur darah sejak pagi tadi, ketika ia mampu menyelamatkan hanya seekor kuda hitam, yang terpaksa disembunyikannya ke balik baju saat ia harus bergegas mengejar langkah gurunya ke arah matahari terbenam. Segera ia mendengar reringkik teramat akrab mendekat ke arahnya.
Maka dengan jemarinya belaka, hanya dengan warna darah yang mulai kusam--garing itu, ia menggoreskan seekor kuda terpantas, terpanas, terganas, kuda hitam, kuda andan, kuda Troya, kuda Kroya, kuda kepang, kuda dremolen, kuda bendi, kuda sembrani, kuda bertaji, kuda Larasati, kuda Kandinsky, atau kuda Umbu, dan ia berkata kepada kaum pemirsa yang kian dahaga itu, “Naikilah ia, wahai pemuja keindahan. Pergilah dalam damai, sebab kau sekalian sudah terlalu lama memeramku di tangsi serdadu atau klinik psikiatri ini.”
Di lebuh menuju sekolah fantasi, di mana mereka yang merampas kudanya menghilang ke balik seribu raut rekaannya, ia mulai belajar menyimak suaranya sendiri, yang sepintas terdengar hanya seperti jerit lemah si guru ketika tenggelam di rumah jagal itu.