Peniti Tali
Terlalu segera tepuk tangan membahana, memalingkan aku dari
badai sandi yang menuntun langkah lambai kakiku.
Terlalu lancip sepatunya, ujar seorang nyonya. Ia melihat dengan
jantungnya, jantungnya belaka, dalih seorang serdadu.
Tapi bagi si penyair yang berpuluh tahun mengamatiku, aku
meniti titian kain panjang yang terpilin dari masa kanakku.
Aum harimau di belakangku. Dan kaum pengagum itu meng-
alirkan sebatang sungai bidang nun di bawah jejaring dan
berseru-seru, terjunlah segera, agar kami lebih bahagia,
lebih nyaring.
Tapi dari menara tertinggi si pemilik sirkus tetaplah hanya
meminati bayang-bayangku sambil mengipas kobaran api.
Ia juru peta yang kehilangan seluruh kampung halaman —
Ia kemarin penjinak binatang, kini hendak menyigi kitab suci —
Ia tak tahu bahwa kematiannya sudah tertera di koran pagi —
Kudengar bebisik itu seraya merapikan rambut dan gigi.
Barangkali sejam lagi--atau bahkan esok pagi — akan sampai
aku diseberang sana, dimana
seorang kekasih atau algojo yang terlalu lama menanti tak lagi
berani membimbing aku ke pesta kenduri atau tiang gantungan.
Karena laherku biru, terlalu biru.