Menembus Cakrawala
Ujung daun nanas itu adalah ujung pena yang dari jauh menembus cakrawala jingga, karena matahari tak main-main memberi makna pada jembatan yang menghubungkan antara siang dan malam. Namun, saat ini malam sunyi, sebenarnya itu sunyi siapa? Tadi siang kau mengerang parau, sesungguhnya itu parau siapa? Tadi hujan memang datang menjelaskan bahwa pertengkaran itu mempermalukan akal. Kita melangkah menuju timbangan. Bandul itu goyang meskipun tidak bergoncang. Dan bulan yang datang berbentuk sabit hanya siap berlayar jadi sampan asalkan aku mau berlayar berdayung badik. Tapi badikku sedang kugadaikan untuk bisa menebus saudara kembarku yang meringkuk dalam tahanan. Yang masih kupunya hanya daun ilalang yang sesekali kupakai sebagai pena. Tapi inilah hidup, ironi dan pergumulan saling bersambut. Aku inginkan sorga, tapi tidak bekerja, aku inginkan rujak tapi lombok menolak pedas. Kuurus juga jejak dan denyut nadi-nadiku. Ternyata di langit gendang menyala berdentam-dentam. Ternyata aku masih hidup, dan denyut jantung masih sanggup menembus cakrawala yang kehilangan warna jingganya. Kini malam sedang menuju sempurna.
Sumber: Segugus Percakapan Cinta di Bawah Matahari (2017)
Puisi: Menembus Cakrawala
Karya: D. Zawawi Imron
Biodata D. Zawawi Imron:
- D. Zawawi Imron lahir pada tanggal 1 Januari 1945 di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.