Lembu Jantan
Ke hamparan biru-hijau pelukis itu membubuhkan kuning berkali-kali sehingga jadilah aku, dan ia berkata, inilah gelombang yang kuimpi-impikan sejak aku remaja.
Kekasihnya yang sejak semalam berdiri telanjang di hadapannya segera menyentuh wujudku sampai ujung jarinya terluka, dan darah itu pun menetes ke wajahku.
Karena kau tak menyalin aku, perempuan itu berkata, biarlah kububuhkan merah ke bidangmu agar kau mampu juga merasakan sawanku, dendamku, birahiku.
Ketika aku menjauh ke ufuk pagi, pelukis itu tak sabar menarik pacarnya memburuku dan melaburkan seleret hitam cemerlang ke kepalaku dan ia berkata, inilah jantungmu, cintaku, sebab kau juga gelombang yang pandai memainkan mata.
Lihatlah, kini aku bermahkota, maka dengan sukacita, nyaris buta pula, aku mengendus-endus pasangan itu sampai mereka bergulung-gulung seperti gumapalan jerami.
Ah, kauberi aku tanduk lembu jantan, kata si perempuan sambil mengempaskan kekasihnya ke sabanaku, mungkin ke bawah duli kakiku, namun disinilah asalnya, ia berseru, menunjuk ke bawah pusar si lelaki.
Kulumatkan jubah pelukis itu agar si pacar leluasa mematangkan raganya, mengulum tanduknya, menghisap seluruh catnya, sehingga jadilah aku lubang mahabesar yang memangsa keduanya.
Tidak, sesungguhnya aku hanya dahaga, hanya kupilih si perempuan sebab aku bisa minum dari payudaranya yang bulai belia selagi ia menjilat-jilat mahkotaku, sampai ia berbisik padaku, betapa kau merah daging, hai gelombang yang mengasah segenap puncak dan lembahku
Kusemburkan putih-mutih yang lebih subur daripada terang siang dan lebih lezat daripada getah mani ketika si pelukis bangkit dari bawah bayanganku dan menggoreskan buli-buli sebesar sarang lebah dan berkata, inilah zakar lembu yang sudah lama kutanggalkan, kualpakan, tapi tetap regang juga.
Tapi aku bukan lagi miliknya, sebab aku mahir, terlalu mahir memuja si betina di haribaanku.