Lagu dari Seberang Jalan
Lagu dari seberang jalan
Menyusup rimbun pepohonan
Di beranda itu, seseorang
Gemetar memandang rembulan
Lagu dari seberang jalan
Membungkus angin yang perlahan
Tapi sunyi tetap diam
Menjaga wajahnya muram
Lagu dari seberang jalan
Bagai menggusur awan
Bagai seribu keasingan
Bangkit ke seluruh malam
Lagu dari seberang jalan, meluncur
Dan bersatu dengan kegelapan
Di beranda itu, seseorang
Gagal mengurai bayangan
1976
Sumber: Horison (September, 1978)
Analisis Puisi:
Puisi "Lagu dari Seberang Jalan" karya Emha Ainun Nadjib adalah cerminan kepekaan batin terhadap rasa sepi, keterasingan, dan renungan malam. Sebuah puisi yang lembut dan puitis, namun penuh dengan beban emosional yang dalam. Emha, seperti biasa, menghadirkan puisi yang tidak hanya menyuarakan kata-kata, tetapi juga mengundang perasaan dan pemikiran mendalam.
Tema
Tema utama dari puisi ini adalah kesepian dan keterasingan batin. Lewat gambaran tentang suara lagu yang datang dari “seberang jalan”, penyair menyampaikan bagaimana seseorang—mungkin tokoh lirik dalam puisi ini—mengalami keterpisahan batin dari sekelilingnya. Lagu tersebut menjadi simbol kenangan atau panggilan yang tak terjangkau, sekaligus menggambarkan pengalaman spiritual atau eksistensial yang sunyi.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini berbicara tentang kerinduan yang tak tersampaikan, komunikasi yang terputus, atau bahkan kesadaran akan realitas yang tak bisa dikendalikan. Lagu yang terdengar dari kejauhan bisa dimaknai sebagai isyarat kehidupan, harapan, atau kenangan, namun yang mengalaminya tetap dalam kondisi terkurung dalam kesendirian dan kegagalan untuk “mengurai bayangan”.
Bayangan di sini bisa menjadi metafora untuk masa lalu, trauma, mimpi yang gagal, atau sesuatu yang membebani jiwa. Puisi ini juga menyiratkan perenungan tentang identitas dan eksistensi diri, di tengah dunia yang gemuruh dari kejauhan, namun tetap sunyi dari kedekatan.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang berdiri atau duduk di beranda, memandangi rembulan, mendengarkan lagu dari kejauhan, namun tetap tak bisa melepaskan diri dari suasana muram. Lagu yang seharusnya menjadi hiburan, justru menjadi penanda keasingan yang lebih pekat. Di akhir puisi, dikatakan bahwa orang tersebut "gagal mengurai bayangan", artinya gagal memahami, menerima, atau berdamai dengan sesuatu yang telah lama menyertainya.
Dengan cara itu, puisi ini menggambarkan perjuangan batin manusia modern, yang sering kali dihujani informasi, suara, dan kenangan, namun tak kunjung menemukan ketenangan atau kepastian dalam dirinya sendiri.
Unsur Puisi
Puisi ini terdiri dari empat bait, masing-masing empat baris, dan menggunakan pengulangan frasa "Lagu dari seberang jalan" sebagai pola refrein (pengulangan khas puisi liris). Unsur-unsur seperti tipografi yang rapi, rima yang longgar, serta metafora dan simbolisme kuat, menunjukkan kekayaan artistik puisi ini.
Beberapa unsur menonjol:
- Diksi: Puitis dan imajinatif seperti "beranda", "rembulan", "membungkus angin", dan "bayangan".
- Repetisi: "Lagu dari seberang jalan" diulang di awal setiap bait, memberikan efek dramatik dan lirikal.
- Simbolisme: Lagu, rembulan, dan bayangan menjadi simbol yang berlapis makna.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah hening, muram, dan kontemplatif. Ada perasaan gamang dan kosong yang membayang sepanjang puisi. Meskipun ada kehadiran lagu, angin, dan cahaya rembulan, semua elemen itu tidak memberi kehangatan, justru mempertegas sunyi dan kegelapan.
Kesedihan dan kesendirian meresap dalam tiap larik, menjadikan puisi ini seperti lukisan malam yang dalam, tempat jiwa berjuang dengan bayangannya sendiri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat dari puisi ini bisa ditafsirkan sebagai ajak untuk merenungi kesendirian dan mencari makna di tengah keterasingan. Bahwa tidak semua suara dari luar bisa menyembuhkan luka di dalam. Kadang kita perlu menerima bahwa tidak semua hal bisa diurai atau dimengerti, namun justru dalam penerimaan itulah kita menemukan bentuk ketenangan baru.
Puisi ini juga bisa menjadi cerminan bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang terjadi, tetapi tentang bagaimana kita menghadapinya dengan kesadaran batin.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditif:
- Visual: "rembulan", "pepohonan", "awan", "beranda", "bayangan"
- Auditif: "lagu", "angin", "sunyi"
- Kinestetik: "gemetar", "mengurai bayangan"
Imaji ini memberi kekuatan atmosfer pada puisi, membentuk lanskap malam yang puitis namun melankolis.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini:
- Personifikasi: "sunyi tetap diam / menjaga wajahnya muram" → sunyi digambarkan memiliki wajah dan bisa menjaga.
- Metafora: "lagu dari seberang jalan" sebagai metafora dari sesuatu yang jauh, tidak terjangkau, namun mempengaruhi batin.
- Repetisi: Pengulangan frasa “Lagu dari seberang jalan” memperkuat tema dan struktur puisi.
- Hiperbola: "seribu keasingan bangkit ke seluruh malam" → melebih-lebihkan untuk menegaskan kesan keterasingan yang sangat kuat.
Puisi "Lagu dari Seberang Jalan" karya Emha Ainun Nadjib adalah potret puitik tentang kesendirian, kerinduan, dan ketidakterhubungan antara dunia luar dan batin seseorang. Lagu yang berasal dari kejauhan tidak mampu menembus dinding batin yang muram dan sepi, justru mempertegas keterpisahan dan kerinduan yang tak selesai.
Dengan kepekaan artistik dan filosofi mendalam, Emha menghadirkan puisi yang tidak hanya indah secara bahasa, tapi juga menggetarkan dari sisi spiritual dan eksistensial. Puisi ini layak dibaca sebagai refleksi batin, terutama ketika seseorang merasa “beranda hatinya” terlalu lama memandang malam sendirian.
Puisi ini adalah lagu batin, bukan untuk didengar, tapi untuk dirasa.
