Kucing Persia
Tanpa belas kasihan ia mencari-cari sisa pasir pada telapak kakiku. Lidahnya berkilauan seperti dada perawan, tapi ia tak hendak menunjukkan rasa laparnya padaku. Seakan ia tahu rasa amis yang kubawa dari tamasya akan membuat tubuhnya bersaing dengan bayanganku. Tapi kuharap ombak laut yang kusimpan di kantung celana akan tumpah ke wajahnya sehingga aku sedikit mampu melupakannya.
Percayalah, suatu hari ia akan menyertaiku ke tempat pembuangan (mungkin Isfahan, Zanzibar, atau Mombassa) sebab sudah terlalu lama ia tinggal bersamaku. Pernah kutanam bebatu mirah yang seperti matanya pada kitab-kitabku jauh sebelum ia lahir. Maka pastilah ia piawai memandangku jika aku bosan mengaji, menari, atau menyigi. Kurasa sudah bertahun-tahun ia sembunyi di balik lesung kuna di ruang tamuku: ketika aku tersadar dari mimpi, punggungnya berkilat seperti beting pasir malam hari di tempat pengasinganku nanti.
Selalu kucari tahu di mana asal-muasalnya yang jauh meski pelbagai ensiklopedi tetap saja mendustaiku, sampai terdengarlah bisikku diam-diam, “Berbarislah, berbarislah.” Ia pun melangkah pelan mengitari kakiku tanpa suara, meski telingaku hanya seperti mendengar sayup balatentara Darius Agung menderap ke Ionia. Percayalah, aku akan memuja ilmu hayat dan mengutuk ilmu bumi agar tubuhnya tetap murni tak tercela, seperti sehimpun gagasan suci yang kalis dari ludah kaum bidah.
Seperti mata-mata sering aku menguntit ke mana ia pergi. Tapi ia tak ke mana pun, kecuali menghilang dari pandangan. Tirai-tirai dan kegelapan seakan miliknya ketika aku mengundang berkas-berkas sinar surya ke semua sudutku. Ia tak bermazhab, sehingga sulit aku memetiknya dari rerupaan dan lukisan yang manapun. Lalu kupercaya jejaknya sebagai jejakku sendiri, agar ia tak lagi sembunyi: ia seperti apel biru yang jatuh dari pohon angkasa. Atau, jika aku menutup mata, ia seperti lingkar abu-abu yang terhembus dari cerita Poe. Tapi aku pun peziarah jika ia tak bernama: dengan isyarat badai dari seberang sana, ia tampak seperti sebongkah batu karang di taman pasir Ryoanji.
Betapa kerap kau yang di cermin itu berkata, ”Berpesiarlah, carilah anak kunci sejati ke kampung halamanmu atau ke Vanarasi agar kau bisa membuka pintu yang satu lagi, pintu ke ruang tamu, mungkin panggung, yang belum lagi kau kenal. Di situlah ia, seperti kembaranmu dari masa lalu, akan tampak sempurna dengan bulu beledunya yang hitam legam di antara tirai ungu hujan dan sejambangan bunga bakung merah padam. Agar jangan lagi kauimpikan pembuangan!”
Tapi baru saja kulimpahkan ombak ke wajahnya sebab aku sangat lapar. Aku pun takjub kenapa ia kian mirip dengan roti gandumku (yang mungkin sudah pula mengeras-batu), tapi mujurlah, parasnya kian biru cemerlang. Kurasa ia ingin membuat bintang-bintang dari pasir di kakiku sebab ia tahu bayanganku betapa gelapnya. Dengan susah payah kukenakan sayapku dan aku berangsur ke sisa terang di luar sehingga tampaklah di dalam sana ia sungguh mahir bersabar seperti kubah amir di Zanzibar.