Keledai
Paduka, pagi ini aku lahir kembali dengan kaki sekokoh besi berani. Jangan lagi kau pasang sayapku sebab sepanjang jalan ingin aku menginjak bebiji matamu.
Bebiji mata yang selalu membuatku berwarna darah, Paduka.
Kubawa matahari di punggungku sebab kau tinggal nun di jauh malam. Kau hampir buta, hampir semenjana. Maaf, Paduka, kau gelap sempurna, lihai memelihara ribuan buah delima yang sebentar lagi kaupecahkan, agar aku membuat kalungmu dari bebulir airmata merah itu.
Para serdadu biru memburuku, mengira yang terangkut olehku adalah jantungmu, Paduka. Para perawan hijau membidikku, menduga aku berdandan dengan lingga paling subur di dunia. Para penggali kubur hangus melukaiku, medakwa aku kain kafan terpanjang bagi mayat api yang tak kunjung datang.
Ternyata aku menapaki papan catur hanya.
Kakiku berkarat oleh kaum raja, ratu, menteri, benteng, dan kuda yatim piatu. Sampai jalan menghilang di antara sesegi putih dan hitam sampai aku tak mampu lagi membedakan siang terang dari malam buta, — dan dari bayanganmu dari wujudmu, Paduka.
Jembatan ini terbuat dari rambutmu, Paduka.
Dan delimamu mengambang di arus sungai.
Tapi aku masih juga menyeberang. Lihatlah, aku akan melayang jatuh, jauh, sebab di jurang sana, yang terpilih, yang tak lagi gemuruh, siapa tahu, masih tercatat pantun abu-abu, pantun tentang si junjungan yang menjadi hambanya sendiri, empat baris kubur seperti kakiku, ketika matahari selalu saja padam di punggungku, Paduka.