Puisi: Burung Merak (Karya Nirwan Dewanto)

Puisi "Burung Merak" karya Nirwan Dewanto tidak hanya berbicara tentang keindahan burung merak tetapi juga menyingkap berbagai aspek kehidupan dan ...

Burung Merak

(untuk Juan Jose Arreola dan Wallace Stevens)

Kepak sayap semua burung adalah tepuk tangan baginya. Panggungnya adalah ranah rumputan dikelokan sungai, tempat ia meyakinkan diri bahwa isi lagunya tepat sama dengan isi dunia ini. Sekalian burung itu ( kecuali rajawali ) mengepak nyeri oleh semacam miang bambu atau remah obsidian yang terhembus dari bentang jubahnya.

Ia sering mengaku tahu rahasia semua jalan yang dilalui para pemburu. Sebenarnya mereka adalah kaum penyair, yang berusaha menemukan gelap suwung yang tak terdapat dalam kitab mereka. Pernah salah sayu pemburu mengintipnya bercermin lama-lama ke muka telaga, dan berkatalah dia kepada anjingnya, "Ia akan habis oleh pantulannya sendiri. Kini ia terlihat jelita dan tak berbahaya sebab ia mengenakan sepatu biru."

Para pemburu itu enggan menangkapnya. Meskipun mereka tahu bahwa sobekan jubahnya, bahakan seutas serat jubahnya belaka, yang ditanam ke dalam kitab, akan memperkaya kosa-kata; sungguh mereka takut bahwa puisi mereka akan terlalu terang-benderang dan senjata mereka terlalu tajam. Kerap mereka saling mencibir, "Jadilah burung merak jika hendak berlaku harfiah tanpa sedikit pun merasa bersalah."

Ia rumangsa bisa mengaum karena seorang filosof pernah memberitahu bahwa jubahnya mengandung warna hitam dan emas lebih berlimpah daripada kulit beledu harimau. Dengan itulah konon ia bisa menghemat kecantikannya sampai usia senja nanti, ketika ia, dipentasnya yang kian terambah semak saliara, terpaksa menyaru sebagai penghulu kaum terwelu yang membenci majas atau kaum bengkarung yang membuat arus kali condong ke kiri.

Kepada kaum kura-kura yang tak pernah mengelak dari hujan dan badai, ia cemburu luar biasa. Bukankah di musim penghujan ia merasa jubahnya kuncup lisut seperti daun putri malu, sehingga ia seakan menjadi tua sebelum waktunya? Apalagi ia percaya bahwa si baju zirah itu pandai memetik dawai dan menulis di atas batu, sesuatu yang akan jauh lebih berharga ketika seluruh penghuni hutan berani mengabaikan ramalan bintang dan tafsir mimpi.

Suatu hari si rajawali yang mulai belajar bertepuk tangan itu berseru kepadanya dari seberang jurang, "Wahai bintang khazanah kami, mengapa kau tak menyanyi tentang kereta api, orang gergaji, dan baling-baling besi?" Di jalan penuh abu gunung api itu, sambil seperti mencuci jantungnya sendiri, ia pun kian percaya bahwa kereta mustahil dimuati api, bahwa gergaji adalah gergasi yang tergelincir di ujung lidah, bahwa baling-baling ternyaring terbuat dari pring, dan besi tak bisa duduk dalam lagunya.

Tetap saja ia merasa lebih tinggi ketimbang segala pohon dan lebih luas ketimbang hutan sebab ia mampu menjangkau matahari dengan matanya dan laut dengan telinganya. (Aku berhutang ungkapan ini kepada seorang penyair dari negeri putih, pengandrung burung hitam, yang hampir saja menjebaknya di pinggir hutan. Sejak itu aku tahu bahwa pena lebih tajam ketimbang pedang. Ah, sungguh harfiah bukan?

Ada saatnya kita merasa keliru menggambarkan si burung merak dengan risalah semacam ini. Semestinya kita menangkap wujudnya denga lisan belaka, dengan bunyi rima yang tak dikuasainya. Tapi suaranya terlalu parau, terlalu derau, sehingga kita harus mengerti — atau menaklukkan — lagunya hanya dengan berpanjang-panjang menuliskannya.

Tiba-tiba, menganggap diri salah satu dari gerombolan pemburu itu, kau ingin segera menyergapnya, melucuti jubah dan sepatunya, membuktikan bahwa sosoknya sekadar badai yang sepatunya, membuktikan bahwa sosoknya sekadar badai yang sia-sia, sisa amuk yang berbiak jika para penyanyi cemburu kepadanya. Tapi tulisan ini — yang kukira rancanganmu — sungguh tak bisa meniru panggungnya, sehingga ia selalu berada di pinggir-pinggir, mengabur, melesat licin, mencuri dan memalsukan kata-katamu; ia meleleh dan kalis dari tatapanmu sendiri.

Bagaimanapun, ia hasratkan dirinya seperti burung hantu, yang menangkap mangsanya hanya setelah melukisnya lebih dulu; seperti burung bangau, yang mengembara ke sana ke mari hanya untuk memperagakan busana tinggi; seperti rajawali, yang pandai mencium harum darah di dekat kampung. Sesungguhnya ia tak mampu berganti rupa, sebab lagunya, tepatnya isi lagunya hanya, telanjur memukau kaum filosof yang gemar bersuluh sambil meneteskan darah di setiap jalan.

Mengendus jejak darah itu, aku tersesat pada labirin yang mengitari panggung di tengah hutan ini. Di antara kelepak dan aum, aku membubuhkan tanda kutip atau tanda kurung? pada sasaranku. Di puncak risalahmu terdengarlah seruan bagiku, "Selamat datang, wahai burung merak!"

Itulah suara seorang penyair dari negeri coklat yang hendak mengaji sang sripanggung dari sudut ilmu hewan belaka, sebab ia percaya bahwa kaum pemburu terlalu terhisap oleh buruan mereka. Ketika tepuk tangan membahana, dari balik jubahnya yang mekar seperti kobaran api melejitlah seribu lembing ke arahku. Tapi kau hanya sanggup melihat kilatan mata burung merak pada hamparan merah padam senjakala ini.

2007

Sumber: Jantung Lebah Ratu (2008)

Analisis Puisi:

Puisi "Burung Merak" karya Nirwan Dewanto adalah puisi yang penuh dengan metafora dan simbolisme, menggambarkan sosok burung merak sebagai makhluk yang anggun namun penuh teka-teki. Puisi ini tidak hanya berbicara tentang keindahan burung merak tetapi juga menyingkap berbagai aspek kehidupan dan seni.

Tema Utama

  • Keanggunan dan Kebesaran: Burung merak dalam puisi ini digambarkan dengan penuh keanggunan dan kebesaran. Dengan kepak sayap yang menjadi tepuk tangan dan jubah yang mempesona, burung merak menjadi lambang keindahan yang menguasai panggung alam.
  • Kepalsuan dan Penampilan: Tema kepalsuan dan penampilan juga sangat menonjol. Burung merak sering kali dilihat sebagai makhluk yang cantik namun penuh dengan ilusi. Pemburu yang takut puisi mereka menjadi terlalu terang adalah refleksi dari ketakutan akan kebenaran yang terlalu jelas.
  • Penyair dan Pencarian Makna: Puisi ini juga mengeksplorasi tema penyair dan pencarian makna. Burung merak yang tahu rahasia jalan para pemburu (penyair) menggambarkan hubungan antara seni dan pencarian makna dalam kehidupan.

Simbolisme

  • Burung Merak: Burung merak dalam puisi ini adalah simbol dari keindahan, kebesaran, dan ilusi. Dengan jubahnya yang memukau, burung merak menjadi pusat perhatian namun juga membawa kepalsuan.
  • Pemburu dan Penyair: Pemburu yang sebenarnya adalah penyair menggambarkan usaha manusia dalam mencari dan memahami makna kehidupan. Mereka enggan menangkap burung merak karena takut kehilangan misteri dan keindahan yang diwakilinya.
  • Jubah dan Sepatu Biru: Jubah burung merak melambangkan keindahan dan misteri, sementara sepatu biru mencerminkan ilusi dan penampilan yang memukau namun mungkin menyesatkan.

Teknik Sastra

  • Metafora: Nirwan Dewanto menggunakan banyak metafora dalam puisi ini. Burung merak, pemburu, dan jubahnya adalah metafora untuk berbagai aspek kehidupan dan seni.
  • Personifikasi: Burung merak dipersonifikasikan sebagai makhluk yang bisa tahu rahasia, menyanyi, dan bahkan cemburu. Ini memberikan dimensi lebih dalam pada karakter burung merak.
  • Pertanyaan Retoris: Pertanyaan retoris digunakan untuk mengajak pembaca merenung tentang makna dan tujuan dari keindahan dan penampilan burung merak.

Makna

  • Keindahan yang Menipu: Puisi ini menekankan bahwa keindahan sering kali menipu. Seperti burung merak yang mempesona, banyak hal dalam hidup yang tampak indah namun penuh dengan ilusi dan kepalsuan.
  • Peran Seni dan Penyair: Seni dan penyair memiliki peran penting dalam memahami dan mengekspresikan kehidupan. Namun, seperti para pemburu yang takut puisi mereka menjadi terlalu terang, ada ketakutan bahwa kebenaran yang terlalu jelas bisa menghancurkan keindahan.
  • Pencarian Makna dalam Hidup: Puisi ini menggambarkan pencarian makna dalam hidup sebagai perjalanan yang penuh dengan misteri dan tantangan. Seperti pemburu yang mencari burung merak, manusia selalu berusaha memahami kehidupan meskipun banyak hal yang tetap tersembunyi.
Puisi "Burung Merak" karya Nirwan Dewanto adalah puisi yang penuh dengan keindahan dan kedalaman makna. Dengan menggunakan metafora dan simbolisme, puisi ini menggambarkan burung merak sebagai makhluk yang anggun namun penuh dengan ilusi. Melalui teknik sastra seperti personifikasi dan pertanyaan retoris, puisi ini mengajak pembaca merenung tentang makna keindahan, peran seni, dan pencarian makna dalam kehidupan. Puisi ini tidak hanya menjadi karya sastra yang indah tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan dan seni.

Nirwan Dewanto
Puisi: Burung Merak
Karya: Nirwan Dewanto

Biodata Nirwan Dewanto:
  • Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.