Puisi: Bayonet (Karya Nirwan Dewanto)

Puisi | Bayonet | Karya | Nirwan Dewanto |

Bayonet



"Memuntahkan peluru" adalah peribahasa yang tak kupahami. "Bermain api" terlalu mudah bagiku. Aku selalu mencatat-ulang "tumbang" agar tubuhku tetap berkilau-kilau, namun buni selalu saja menghapusnya dan menggantinya dengan "gugur" demi meremajakan dirinya sendiri. Sesekali aku berwarna merah sungguh (semoga tersembunyilah sisa keratku), mengiri baju para dara yang berpesiar di hari Minggu atau bendera yang tak kunjung lelah melambai di awal revolusi. Barangkali aku kian purba belaka, tersadai di antara darah daging dan tanah tumpah darah, di antara mandi darah dan tali darah. Aku ingin memiliki wajahmu, tapi kau terlanjur berkelindan di antara kaum jantan yang gemar menancapkan seribu mercusuar tertinggi ke segala penjuru. Setiap kali hendak meninggi, ternyata aku hanya mengenali terang di lubang bumi, yang merindukan jasadmu. Setiap saat hendak mengasihimu, aku membalurkan gelap ke wajahmu. Kau, yang dikebun zaitun, di gurun pasir, atau di hutan hujan, tetap mengenakan baju tidur di balik baju seragammu. Mereka hendak melubangi tubuhmu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya agar kau terkirim pulang tanpa cacat seperti patung Yunani. Namun pagi itu aku terbangun di samping sebuah roda raksasa, melihat kau setengah terbenam ke lumpur. Kembaranku (yang kupanggil "mulut") yang biasanya piawai memuntahkan berbait-bait kilat yang mampu menghapus berpuluh wujud serempak, membeku disampingku. Di hadapan kami terpampang "tumbuh seribu", namun tak sempat lagi kami bertukar pepatah. Aku segera menarik Tangan yang telah lama mengikat kami, yang selalu memaksaku menafsir "memuntahkan peluru". Aku mendesak Ia melukis wajahmu dengan sisa merah fajar, seraya aku mencari jalan tersingkat ke lambung atau jantungmu dengan seksama. Maafkan aku, bujang, sebab aku baru berupaya mencintaimu.


2007

Sumber: Jantung Lebah Ratu (2008)

Nirwan Dewanto
Puisi: Bayonet
Karya: Nirwan Dewanto

Profil Nirwan Dewanto:
  • Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Semu Puisiku hijau seperti kulit limau Kupaslah, kupaslah dengan tangan yang lelah temukan daging kata bulat sempurna, merah jingga terpiuh oleh laparmu Junjunglah urat …
  • Akuarium Tepat tengah malam mataku yang bersisik mata yang aus oleh terang hari terdampar ke tepian kaca -     Sirip atau sayapkah itu     yang menutup d…
  • Semangka Seperti kantung hijau berisi darah berhenti percaya pada tanah, seperti bawal betina tak bersarung menggelincir ke ujung tanjung,…
  • Bubu Sirip, sayap, dan tangan tak pernah tersesat ke hulu. Paru-paru, mata, dan insang adalah buah hati batu. Duri, sisik, dan bayang-bayang mencuri anyaman dari tepi. Ek…
  • Kucing PersiaTanpa belas kasihan ia mencari-cari sisa pasir pada telapak kakiku. Lidahnya berkilauan seperti dada perawan, tapi ia tak hendak menunjukkan rasa laparnya padaku. Seak…
  • Lonceng Gereja Kaum musuhku menuntun aku menyanyi seraya memeluk aneka menara tertinggi tetapi demi jubah Latin bagi orang mati aku hanya be…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.