Rasa cinta merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan dari diri manusia. Hasrat muncul seketika karena dalam peraasaan itu kita benar-benar memiliki sesuatu hal yang sangat berkesan. Tentu saja, perasaan yang kita miliki tidak selamanya sama, bak air di atas daun talas.
Ya, benar sekali, perasaan hati manusia diibaratkan seperti air yang berada di atas daun talas, mudah berpindah pindah. Tidak jarang, banyak dan bahkan bisa diketahui manusia mudah dibujuk, dirayu, dibolak-balikkan hatinya.
Karena memang benar rasa cinta adalah sesuatu yang berada di atas segala-galanya.
Tapi terkadang, ada beberapa sudut pandang yang membawa rasa cinta ini ke fanatisme yang berlebihan. Banyak yang salah menafsirkan rasa cinta ini pada sesuatu hal yang pada akhirnya bisa membahayakan diri mereka sendiri. Saya ambil contoh saja misalnya bagaimana rasa kecintaan kita terhadap tim sepakbola, yaitu menjadi suporter.
Bicara tentang suporter, saya sendiri adalah suporter sepakbola yang sepenuhnya mendukung tim yang berada di region saya. Pengalaman yang saya alami memang belum banyak, tetapi saya tahu bagaimana rasanya dikecewakan oleh tim kebanggaan, dibuat menangis karena belum bisa mencetak point, bahkan pengalaman tidak mengenakkan hati pun sudah pernah saya rasakan.
Entah bagaimana dibuatnya, cinta dan sepakbola memang berjalan beriringan selayaknya Romeo dan Juliet, dan langit yang harus dengan bumi, dan apapun itu.
Jika kita lihat kembali diri kita masing-masing, kecintaan yang di atas batas wajar ini memang seolah olah membuat kita lupa akan diri kita sendiri.
Pernah kala itu, saya menyuporteri tim kebanggaan saya, Persis Solo. Pada tahun 2020 saat itu sempat berpindah kandang karena Stadion Manahan Solo sedang dalam pembangunan. Saya dengan rekan-rekan suporter kala itu berangkat ke Madiun, ya memang homebase dipindah ke situ. Laga panas tersebut mempertemukan antara Persis Solo vs PSIM Jogja. Ya benar sekali, ini adalah laga derby Mataram, tidak lain tidak bukan ini adalah laga bergengsi dengan rivalitas tinggi.
Cerita derby Mataram sudah banyak orang yang tahu, laga ini memang banyak ditunggu tunggu banyak khalayak suporter Solo - Jogja. Di setiap laga derby pasti selalu ada psywar yang bergema di Stadion.
Psywar adalah keadaan menjatuhkan mental musuh tanpa melakukan kontak fisik sedikit pun. Psywar bisa dilakukan dengan sorak-sorai sampai mental lawan main terjatuh, karena saat itu juga mereka akan grogi dan kehilangan fokus yang dapat menurunkan performa permainan di atas lapangan hijau.
Lagi-lagi dan lagi, fanatisme di sini selalu dikaitkan dengan bagaimana kita menyikapi sesuatu yang dihadapkan pada diri kita. Fanatisme mengontrol bagaimana kita bersikap terhadap sesuatu yang kita lakukan di setiap aktivitas.
Dari sini kita belajar bahwa rasa cinta yang berlebihan tidak selamanya akan memberikan akhir yang indah, sesuatu yang kita perjuangkan ada baiknya kita lihat dahulu seperti apa imbasnya bagi diri kita.
Tidak hanya pada sepakbola, rasa cinta kepada hal apapun itu, sebaiknya memang harus dilihat dahulu seberapa berpengaruhnya terhadap kita, maupun orang lain semestinya. Karena pada dasarnya, manusia terkadang ingin mencoba hal-hal yang membuat dirinya puas tanpa memikirkan apa resiko yang diterimanya nanti.
Berfikir sebelum bertindak itu perlu, cinta dan apapun itu dengan sewajarnya. Kesimpulannya, semua hal yang berlebihan itu tidak baik kecuali pahala, dan uang.
Biodata Penulis:
Khoiruddin Ismail lahir pada tanggal 2 November 2003 di Sragen, Jawa Tengah, Indonesia. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.