Puncak di Waktu Malam
Dan Ada Bintang-Bintang yang Sinar
puncak di waktu malam dan
ada bintang-bintang yang sinar
pada kerah bajuku yang sendiri
menyepi dan seterusnya sepi
"Kau belum menyeka dingin yang
runyam di bibirku yang ratap ini?"
tapi hanya malam yang turun
sebelum tiada apa-apa lagi
Rajawali, 2 Januari 1975
Sumber: Horison (Maret, 1976)
Analisis Puisi:
Puisi "Puncak di Waktu Malam" karya Darman Moenir menghadirkan gambaran tentang kesepian dan introspeksi dalam suasana malam yang sunyi. Dengan penggunaan bahasa yang sederhana namun sarat makna, puisi ini mengundang pembaca untuk merenung tentang kehampaan dan keheningan yang dialami oleh penyair.
Tema Sentral
- Kesepian dan Keheningan: Puisi ini mencerminkan suasana kesepian yang mendalam. "Puncak di waktu malam" menggambarkan tempat yang terpencil dan sunyi, di mana keberadaan penyair terasa sendiri dan terpisah dari dunia luar. Ketidaksamaan dan perasaan terisolasi terpancar melalui kata-kata yang menggambarkan keheningan dan ketenangan malam.
- Refleksi dan Introspeksi: Dalam suasana malam yang sunyi, penyair melakukan refleksi diri. Pertanyaan retoris seperti "Kau belum menyeka dingin yang runyam di bibirku yang ratap ini?" mencerminkan dialog internal yang melibatkan introspeksi tentang keadaan emosional dan fisik yang tidak tertangani.
Gaya Bahasa dan Struktur
- Bahasa Sederhana dan Simbolisme: Puisi ini menggunakan bahasa sederhana namun mengandung simbolisme yang kuat. "Bintang-bintang yang sinar pada kerah bajuku yang sendiri" dapat diinterpretasikan sebagai gambaran tentang kesendirian dan kehampaan yang dirasakan penyair. Simbolisme bintang-bintang juga dapat melambangkan harapan atau kehadiran yang jauh di tengah kegelapan.
- Suaranya yang Puitis: Suara puisi ini tenang namun memilukan. Dengan kalimat yang singkat dan padat, puisi ini mampu mengekspresikan perasaan kesepian dan introspeksi secara efektif. Ritme dan fluks kesadaran yang tercipta dari puisi ini mengundang pembaca untuk memasuki keadaan emosional penyair.
Interpretasi dan Makna
- Kehampaan dan Keputusasaan: Penyair menggambarkan perasaan kehampaan dan keputusasaan melalui penggunaan kata-kata yang menggambarkan kesendirian dan ketenangan malam. "Hanya malam yang turun sebelum tiada apa-apa lagi" mengisyaratkan pada akhir dari sesuatu yang sudah tidak memiliki harapan.
- Perjalanan Menuju Keheningan: Puisi ini bisa diinterpretasikan sebagai perjalanan penyair menuju keheningan dan ketenangan, di mana kehampaan dan introspeksi mengantar ke kesadaran diri yang mendalam. Malam sebagai metafora kegelapan dan introspeksi pribadi menjadi pusat dari makna puisi ini.
Puisi "Puncak di Waktu Malam" karya Darman Moenir adalah sebuah perenungan mendalam tentang kesepian, introspeksi, dan kehampaan dalam suasana malam yang sunyi. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun padat makna, puisi ini berhasil menggambarkan keadaan emosional penyair secara efektif. Melalui simbolisme dan gambaran alam, pembaca diajak untuk merenung tentang perasaan-perasaan yang tersembunyi di balik keheningan malam dan refleksi diri yang mendalam.
Puisi: Puncak di Waktu Malam
Karya: Darman Moenir
Biodata Darman Moenir:
- Darman Moenir (dieja Darman Munir) lahir di Sawah Tangah, Pariangan, Tanah Datar, Sumatra Barat, pada tanggal 27 Juli 1952.
- Darman Moenir meninggal dunia di Kota Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 30 Juli 2019 (pada usia 67 tahun).
- Darman Moenir adalah salah satu sastrawan angkatan 1980-1990an.