Mei 1998,
Kisah Sepotong Ame
Hari itu aku naik sepeda. Pedal kukayuh; dan sepeda menyeretku ke jalan berbatu. Namaku Ame. Hari itu Mei 1998. Aku sedang mens. Aku makan sepotong sosis dari lemari pendingin. Aku mencuci tangan di wastafel. Aku menepuk pantat adik bayi di tempat buaian. Aku menjemur pakaian dan memecahkan cangkir. Aku mencium pipi Ibu di dapur. Aku melihat wajahku yang pucat di cermin. Aku sedang mens. Kukayuh hatiku untuk menekuk waktu yang panjang menjadi pendek. Kulepas tubuhku meluncur di jalanan membuyarkan kawanan itik dan membiarkan anganku terkelupas.
Suara rante dan pedal berderak-derak seperti suara pabrik. Angin mengepal-ngepal di betis dan paha. Sadel melonjak bila ada kucing melintas, dan ragaku seperti hendak ditarik ke langit. Aku teringat Han yang suka menyelipkan bunga dalam buku karena aku suka bunga dan dia kutubuku. Alangkah indahnya hidup.
Angin terus menderu dan menampar pipiku yang pucat. Lalu langit gelap tiba-tiba. Aku seperti untaian kalung yang tumpah di jalanan dan membiarkan tumpukan najis muncul dari gorong-gorong. Aku melihat sepeda naik ke tubuhku. Aku melihat sekawanan kambing mencabik-cabik pahaku. Aku melihat Han menyelip dalam buku dan menggigit mulutnya sendiri. Aku melihat pecahan wastafel dan jeruji roda masuk ke vagina. Aku seperti telur mata sapi di penggorengan. Aku mendengar suara gergaji di dapur. Aku melihat mentega meleleh dari lemari pendingin. Aku terlempar dalam kalender dan bersandar pada penanggalan. Hidup ternyata tidak indah.
Aku sedang mens. Namaku Ame. Sekarang aku tak punya sepeda.