Duka Sebaris Cemara
dalam beban itu kita melangkah
dalam berat kita langit merendah
lagu dalam siul saat jauh menunggu
waktu dan percakapan, kutahu
ini angin, daun dan sepi
menunggu pula jauh dukamu
dan kita adalah batu tanpa bunga-bunga
rumah tanpa apa-apa
dan tangan tanpa cinta tanpa terasa
setiap tanda tinggal pembunuhan sepi di hati
dan bahwasanya
gema yang mengacau dinding dan bangunan
adalah gema kita
Analisis Puisi:
Puisi "Duka Sebaris Cemara" karya R.S. Rudhatan adalah sebuah karya yang penuh dengan nuansa duka, kehilangan, dan kesunyian. Dalam puisi ini, Rudhatan menggambarkan perjalanan emosional yang penuh dengan beban, kesedihan, dan refleksi terhadap kehidupan yang seolah terhenti. Dengan bahasa yang sarat makna dan penggunaan metafora yang kuat, puisi ini membawa pembaca untuk merenung tentang makna dari beban hidup, kehilangan, dan bagaimana perasaan duka bisa mengacaukan bahkan struktur yang paling kokoh sekalipun.
Beban Hidup yang Terus Dijalani
Puisi ini dibuka dengan kalimat yang langsung menggambarkan kesulitan dalam kehidupan:
"dalam beban itu kita melangkah, dalam berat kita langit merendah"
Kata "beban" dan "berat" menyiratkan kesulitan yang harus dihadapi dalam perjalanan hidup. Beban ini bukan hanya sesuatu yang bersifat fisik, melainkan juga emosional, yang membebani hati dan pikiran. Kalimat kedua, "dalam berat kita langit merendah," mengekspresikan bagaimana beban hidup dapat membuat segala sesuatu terasa lebih suram dan sempit, seolah-olah langit yang biasa terasa luas kini menjadi rendah dan menindih. Ada rasa keterbatasan ruang gerak, baik fisik maupun mental, yang disebabkan oleh beban yang terlalu besar untuk dipikul.
Kesunyian dan Jarak yang Menyakitkan
Selanjutnya, puisi ini mengungkapkan perasaan kesepian yang mendalam dengan kalimat:
"lagu dalam siul saat jauh menunggu"
Di sini, "lagu dalam siul" bisa diartikan sebagai suara yang melambangkan kesunyian, suara yang melengking namun tidak terdengar dengan jelas. "Jauh menunggu" mengacu pada penantian yang tiada ujung, yang semakin lama semakin melukai, karena tidak ada kejelasan tentang apa yang sedang dinanti. Suara tersebut menjadi representasi dari jarak—jarak fisik atau emosional—yang membuat seseorang merasa terasing dan terputus dari dunia luar.
Keheningan yang Menghantui
Puisi ini terus menggali tema kesunyian dengan menggambarkan angin, daun, dan sepi:
"ini angin, daun dan sepi menunggu pula jauh dukamu"
Di sini, angin, daun, dan sepi digambarkan sebagai elemen-elemen alam yang turut menanggung duka. Angin dan daun berfungsi sebagai metafora dari pergerakan yang tidak pasti, sementara "sepi" adalah elemen yang paling mencolok, menandakan kekosongan dan kesendirian. Keterkaitan antara "sepi" dan "duka" ini menunjukkan bagaimana duka bisa menguasai ruang, membungkus segala hal dalam keheningan yang menggetarkan.
Kehampaan dan Kehilangan yang Tak Terungkap
Bagian selanjutnya membawa pembaca ke dalam gambaran tentang kehampaan yang menyesakkan:
"dan kita adalah batu tanpa bunga-bunga, rumah tanpa apa-apa, dan tangan tanpa cinta tanpa terasa"
Kata-kata ini menggambarkan keadaan yang tanpa kehidupan, tanpa gairah, dan tanpa kasih sayang. "Batu tanpa bunga-bunga" menunjukkan keteguhan yang kosong, tidak ada keindahan yang menyertai kekerasan dan ketegaran tersebut. "Rumah tanpa apa-apa" melambangkan ruang yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan kenyamanan, tetapi kini kosong dan tidak memberikan arti. "Tangan tanpa cinta tanpa terasa" menggambarkan ketidakmampuan untuk merasakan atau memberikan kasih sayang, sesuatu yang mendalam tetapi terputus begitu saja. Kehilangan cinta, dalam hal ini, seakan menjadi akar dari kehampaan tersebut.
Pembunuhan Sepi di Hati
Puisi ini semakin memperdalam perasaan kesepian dengan ungkapan:
"setiap tanda tinggal pembunuhan sepi di hati"
"Pembunuhan sepi" menggambarkan bagaimana setiap perasaan kosong atau tidak terungkap bisa membunuh kehidupan batin seseorang. Setiap tanda yang ditinggalkan oleh orang atau perasaan yang tidak terungkapkan mengarah pada kehancuran dalam hati, yang terasa seperti pembunuhan terhadap bagian-bagian dari diri kita yang paling rentan. Ada perasaan bahwa setiap langkah yang diambil dalam keadaan sepi hanya akan memperburuk keadaan, meninggalkan bekas yang tidak bisa disembuhkan.
Gema yang Mengacaukan Dinding dan Bangunan
Pada bagian akhir puisi, penulis menutupnya dengan kalimat yang penuh dengan kekuatan:
"dan bahwasanya gema yang mengacau dinding dan bangunan adalah gema kita"
"Gema" di sini adalah simbol dari suara perasaan yang terpendam, yang pada akhirnya mengguncang bahkan struktur yang paling kokoh sekalipun—dinding dan bangunan. Ini bisa diartikan bahwa duka dan kesepian tidak hanya menggerogoti individu, tetapi juga meruntuhkan segala sesuatu yang telah dibangun, baik itu dalam bentuk hubungan, karier, atau impian. Gema ini adalah suara yang teriakan dari dalam hati, yang meskipun tidak selalu terdengar di luar, namun tetap ada dan memiliki kekuatan untuk mengguncang.
Puisi "Duka Sebaris Cemara" karya R.S. Rudhatan adalah sebuah karya yang memuat gambaran mendalam tentang duka, kesepian, dan kehampaan yang menghantui setiap langkah kehidupan. Lewat penggunaan metafora yang kuat, Rudhatan mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana perasaan-perasaan tersebut bisa meresap dalam hidup kita dan meruntuhkan segala yang kita anggap kokoh. Dalam puisi ini, duka bukan sekadar perasaan yang sementara, melainkan sesuatu yang bisa mengacaukan, merusak, dan menghapuskan segala yang kita anggap abadi.
Namun, melalui penggambaran yang sangat puitis, puisi ini juga mengingatkan kita bahwa duka adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dihindari. Duka ini datang dengan keheningan dan kehampaan, namun juga meninggalkan gema yang terus bergema, menunjukkan bahwa bahkan dalam kesedihan yang paling dalam, ada kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Dalam dunia yang penuh dengan kekosongan, kita masih bisa menemukan makna dalam gema duka itu.
Karya: R.S. Rudhatan
Biodata R.S. Rudhatan:
- Rosandi Rudhatan lahir pada tanggal 30 Oktober 1952 di Yogya.
- Rosandi Rudhatan meninggal dunia pada tanggal 22 Agustus 2017.