Aku Ingin Menciptakan Suara-Suara Itu
ada gaung
dari jauh
mega-mega
ngangakan mulutmu
goyangkanlah, pelan-pelan Tuhanku
aku ingin menciptakan suara-suara itu
sebelum aku lupa mencatatnya
pada angka-angka yang membulat
jam-jam dinding
jarum-jarum jahit
ranjang
dan kamar
aku ingin menciptakan suara-suara itu
aku dengar, sebelum kulepaskan
nafsu-nafsu
dan
kuciptakan lagi
goyangkanlah
Tuhanku
aku ingin menciptakan suara-suara itu
karena kurun yang 1000 tahun ini
hanyalah
puisi.
1972
Sumber: Horison (Juli, 1975)
Analisis Puisi:
Puisi "Aku Ingin Menciptakan Suara-Suara Itu" karya R.S. Rudhatan mengajak pembaca untuk memasuki ruang kontemplasi yang penuh dengan nuansa musikalitas dan filosofi. Dengan penggunaan bahasa yang sederhana namun sarat makna, Rudhatan menciptakan sebuah karya yang tidak hanya berbicara tentang penciptaan suara, tetapi juga tentang pencarian makna dan ingatan dalam kehidupan. Puisi ini adalah pernyataan tentang upaya untuk merangkai elemen-elemen hidup dalam bentuk suara, angka, dan bahkan waktu, yang akhirnya dipahami sebagai puisi itu sendiri.
Penciptaan Suara sebagai Aktuasi Eksistensial
Puisi ini diawali dengan kalimat yang langsung mengarahkan pembaca pada sebuah pengalaman auditori:
"ada gaung dari jauh mega-mega"
Gaung di sini bisa dimaknai sebagai gema dari sesuatu yang jauh, yang mungkin belum sepenuhnya bisa dipahami, namun tetap ada dan terdengar di alam bawah sadar. "Mega-mega" mungkin merujuk pada awan yang menggantung di langit, sebuah gambaran yang luas dan tak terjangkau, namun tetap bisa dirasakan. Gaung ini menandakan awal dari proses penciptaan suara yang lebih besar, yang pada akhirnya akan mewarnai ruang kosong dalam kehidupan.
Bersamaan dengan gaung ini, penulis melanjutkan:
"ngangakan mulutmu goyangkanlah, pelan-pelan Tuhanku"
Kalimat ini membawa pembaca untuk memasuki dimensi spiritual, di mana "Tuhan" seakan menjadi sumber dari penciptaan itu. Dalam permohonan yang halus, "goyangkanlah" mengisyaratkan kehendak untuk mewujudkan sesuatu—sesuatu yang tidak hanya berupa suara, tetapi juga energi atau esensi yang ingin dicapai oleh sang penyair.
Menciptakan Suara-Suara dalam Kehidupan Sehari-hari
Kalimat "aku ingin menciptakan suara-suara itu" menjadi refrain yang diulang dalam puisi ini, seolah-olah menyiratkan keinginan yang kuat untuk mengabadikan suara-suara yang berkelindan dalam kehidupan sehari-hari. Puisi ini mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap suara-suara yang terabaikan dalam rutinitas hidup yang biasa, seperti yang digambarkan dalam:
"pada angka-angka yang membulat jam-jam dinding jarum-jarum jahit ranjang dan kamar"
Setiap objek yang disebutkan di sini—angka, jam, jarum jahit, ranjang, dan kamar—memiliki peran penting dalam kehidupan penulis. Jam, dengan jarumnya yang bergerak, mengingatkan kita pada waktu yang terus berjalan. Jarum jahit mungkin mewakili aktivitas yang tenang dan penuh konsentrasi, sementara ranjang dan kamar menyiratkan tempat beristirahat atau introspeksi. Masing-masing elemen ini memiliki suara mereka sendiri, yang mungkin tidak terdengar secara langsung, namun tetap hadir sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Penciptaan Suara sebagai Sebuah Proses yang Tak Pernah Selesai
Penulis menegaskan kembali keinginan untuk menciptakan suara:
"aku ingin menciptakan suara-suara itu aku dengar, sebelum kulepaskan nafsu-nafsu dan kuciptakan lagi"
Di sini, ada pengulangan dan siklus penciptaan yang tak berujung. "Menciptakan suara-suara itu" adalah proses yang tidak hanya sekali selesai. Suara-suara itu harus diciptakan dan didengar terlebih dahulu, sebelum ia dilepaskan ke dunia luar. Namun, ada pula dorongan untuk menciptakan lagi, mengulangi siklus penciptaan tersebut. "Nafsu-nafsu" di sini bisa diartikan sebagai dorongan batin atau hasrat yang menggerakkan sang penyair untuk terus berkarya, meskipun penciptaan itu tidak pernah selesai. Penciptaan adalah proses yang terus-menerus, tak terputuskan, dan tak pernah merasa lengkap.
Relasi dengan Waktu dan Keabadian
Salah satu bagian yang menarik dalam puisi ini adalah pengaitan antara waktu yang terbatas dan keabadian puisi:
"karena kurun yang 1000 tahun ini hanyalah puisi."
Kalimat ini membingkai waktu sebagai sesuatu yang relatif, sesuatu yang bisa dipahami lewat karya seni, dalam hal ini puisi. Meskipun waktu yang disebutkan adalah seribu tahun, ia hanya menjadi "puisi" dalam pengertian bahwa waktu itu tidak terikat pada batas-batas duniawi. Puisi memungkinkan kita untuk melampaui batasan waktu, memberikan semacam keabadian dalam kata-kata dan suara yang tercipta.
Makna Puisi sebagai Medium Penciptaan
Pada akhirnya, puisi ini menyampaikan gagasan bahwa puisi bukan hanya sekadar tulisan, melainkan medium penciptaan yang dapat mengabadikan suara dan makna yang lebih dalam. Puisi adalah cara untuk mendokumentasikan pengalaman hidup yang sering kali tidak bisa dijelaskan secara logis atau rasional, melainkan melalui suara dan kata yang berirama. Puisi menjadi ruang di mana waktu, suara, nafsu, dan penciptaan berinteraksi, menciptakan dunia yang baru setiap kali dibaca atau didengar.
Puisi "Aku Ingin Menciptakan Suara-Suara Itu" adalah puisi yang menggambarkan hasrat penciptaan yang tidak pernah padam. Melalui kalimat-kalimat yang puitis dan penuh makna, R.S. Rudhatan mengajak pembaca untuk memahami bahwa kehidupan ini penuh dengan suara-suara yang tak selalu terdengar dengan jelas, namun selalu ada di dalam kita. Penciptaan suara-suara tersebut, baik yang berasal dari dunia luar maupun dunia dalam, adalah usaha untuk menyatukan waktu, nafsu, dan ingatan dalam bentuk puisi—sebuah karya yang abadi meskipun hidup kita hanya berlangsung sementara. Dengan menafsirkan suara dalam puisi ini, kita diajak untuk melihat lebih dalam pada segala yang ada di sekitar kita dan memahami bahwa setiap detik dan setiap nafas adalah bagian dari sebuah karya yang terus berjalan.
Karya: R.S. Rudhatan
Biodata R.S. Rudhatan:
- Rosandi Rudhatan lahir pada tanggal 30 Oktober 1952 di Yogya.
- Rosandi Rudhatan meninggal dunia pada tanggal 22 Agustus 2017.